Aku mengenal nama GM pertama kali dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika berbicara tentang sastrawan Angkatan 66. Tapi tidak seperti Taufik Ismail, yang karya-karyanya begitu populer dan ada di perpustakaan, aku tidak pernah menemukan karya GM. Belakangan aku baru membaca Smaradhana atau Seks Sastra dan Kita, justru di akhir 90-an, padahal konon buku itu sudah pernah terbit hampir 30 tahun yang lalu.

Aku baru mengenal pikiran-pikiran GM lewat kolom Catatan Pinggir-nya di Majalah TEMPO. Bapak yang rajin membeli majalah-majalah bekas, karena tidak cukup uang untuk membeli majalah baru, memiliki sebuah bundel Majalah TEMPO tahun 1979. Inilah yang paling aku suka, karena banyak dan tebal sampulnya. Di sana, aku ingat ada laporan tentang Sengon dan Karta yang kehilangan kebebasannya selama bertahun-tahun karena kasus Peradilan Sesat. Kupikir semua penegak hukum di Indonesia pasti mengenal “Kasus Sengon dan Karta”. Dua orang desa yang dipenjarakan pengadilan karena “terbukti” melakukan pembunuhan. Seingatku, hampir dua belas tahun dipenjara, barulah mereka dibebaskan setelah pembunuh yang sebenarnya tertangkap. Di situ ada juga kasus Budiaji, sebagian berita mengatakan inilah koruptor pertama yang dipenjarakan di Indonesia. Biasanya semuanya aku baca. Sampai Surat-Surat Pembaca-nya, meskipun sebenarnya aku tidak paham. Termasuklah yang tidak kupahami itu kolom Catatan Pinggir. Aku pikir ini masa-masa aku beranjak meninggalkan ibtidaiyah (sekolah dasar) menuju awal tsanawiyah (sekolah menengah pertama).

Aku mulai dipengaruhi GM ketika menjelang Aliyah (sekolah menengah atas), aku mulai intensif ke Perpustakaan Wilayah Sumatera Utara di Medan. Jarak perpustakaan ini dari rumahku kira-kira 10-15 kilometer, mungkin lebih karena rumahku terletak di Kecamatan Medan Timur, sementara perpustakaan ada di daerah Barat. Biasanya aku ke sana dengan bersepeda. Di situ ada lebih banyak lagi bundel TEMPO yang bisa aku baca. Salah satu favoritku adalah Catatan Pinggir. Waktu buku-buku kumpulan Catatan Pinggir (I-III) di terbitkan, dengan senyum bangga pada diri sendiri, aku sering berbicara dalam hati, “Hm, aku sudah membaca tulisan ini dan itu dan itu, ketika dicetak untuk pertama kalinya”. Di masa-masa inilah aku mencoba membaca TEMPO lebih disiplin. Setiap akhir minggu, aku akan datang ke salah satu trotoar Jl. Sutomo Medan untuk membeli TEMPO edisi retuur, yaitu TEMPO edisi minggu lalu yang tidak laku kemudian sampul depannya dipotong untuk dikirimkan kembali ke Agennya.

Catatan Pinggir GM secara kognitif memperkenalkanku pada banyak hal baik dan bagus di dunia sebelah sana. Dunia yang mungkin tidak akan pernah kukenal kalau tidak membaca tulisannya atau bila aku hanya bergelut dengan wacana kemadrasahanku. GM mengenalkan padaku Samuel Becket, penulis drama, yang judul drama surrealisnya Waiting for Godot, kemudian menjadi kata-kata yang dianggap paling mewakili gambaran psikologis orang-orang yang menunggu sesuatu yang tidak pernah jelas “whom” dan “when“-nya. GM juga mengenalkanku pada Umberto Eco, semiotikus yang dianggap paling otoritatif, ketika menceritakan novel sejarah-detektifnya, The Name of the Rose. GM sebetulnya tidak menceritakan novel itu, dia hanya menceritakan perjalanan psikologis tokoh Adso, seorang pemuda Benediktin yang dititipkan ayahnya pada seorang Fransiskan yang meneliti pembunuhan-pembunuhan di sebuah biara. Novel ini kemudian difilmkan. Sang Fransiskan diperankan oleh Sean Connery sedangkan Adso oleh Christian Slater. Selain GM, film ini juga diresensi di edisi lain TEMPO, yang di antaranya menggambarkan betapa menyeramkannya biara tersebut karena ketika kedua protagonis itu datang, pintu gerbang dibuka oleh biarawan yang berwajah seperti hantu. GM sendiri memberikan pengantar yang menggugah ketika menulis tentang novel ini, kira-kira katanya, “Pernahkah Yesus tersenyum?”. Novel ini adalah usaha mencari jawaban pertanyaan itu. Resensi film ini menarik, tetapi bagaimana GM mengutip dan memberi perspektif terhadap “The Name of the Rose”-lah yang membuatku menerobos jam malam di rumah dan menyaksikan film ini di sebuah bioskop Taman Hiburan Rakyat pada midnight show-nya. Sepi sekali di bioskop malam itu. Pada kesempatan lain, GM memperkenalkanku pada Milan Kundera, ketika menulis tentang imagologi, yaitu ketika bungkus lebih penting dari pada isi. Pada kesempatan lain, GM memperkenalkanku pada sebuah pepatah Italia tentang penguasa yang kehilangan kredibilitas, “Ketika Raja lewat, petani menunduk, tetapi kentut diam-diam”. Tetapi yang terpenting mungkin, dalam banyak tulisannya, GM mengajarkanku bahwa yang terpenting adalah bertanya, bukan menjawab. Catatan Pinggir, kalau boleh diringkas adalah Kecerdasan yang ditunjukkan dalam kedalaman wawasan dan analisa, dan Kebijaksanaan yang ditunjukkan dalam pertanyaan-pertanyaan dan refleksi diri. Aku merasakan betul bahwa GM bukan mengutip saja atau mencari ilustrasi, tapi memang memikirkan apa yang dibacanya, baru kemudian menuliskannya kembali. Konon, Catatan Pinggir dihubungkan dengan marginalia, coretan-coretan yang ditambahkan pemilik/pembaca di margin halaman sebuah buku. Catatan-catatan itu biasanya menyiratkan pertanyaan, komentar, bahkan sentimen penulisnya terhadap bagian tertentu dari naskah dari halaman tersebut, tetapi tidak pernah ditujukan untuk “mengalahkan” bukunya. Cukup sekedar sebagai catatan pinggir, marginalia.

Waktu remaja itu, setiap kali membaca Catatan Pinggir, aku membayangkan bagaimana GM membaca demikian banyak karya terbaik manusia dari berbagai zaman dan latar budaya. GM itu kan berasal dari Batang, kota kecil di Jawa Tengah, dan tidak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Indonesia. Pertanyaanku yang amat naif adalah, “Bagaimana bisa dia mendapatkan buku dan manuskrip sedemikian banyaknya? Bagaimana dia bisa memilih dan mendapatkan sebuah buku, ide, adegan kebudayaan, dan sebagainya, yang kemudian dianggapnya layak untuk dituliskan di Catatan Pinggir?”… Sebagai remaja, aku membandingkan apa yang dimiliki GM dengan apa yang aku miliki. Bapakku sangat suka pada buku. Tapi dari seribuan buku yang ada di rumah (waktu aku remaja itu), seingatku tidak ada satupun buku berbahasa Inggris. Bahkan kamus Inggris-Indonesia John Echols yang bisa dianggap pantas itu pun tidak ada. Yang ada kamus Arab-Inggris-Indonesia. Tapi itu tampaknya karena Bapak ingin kamus Arab-Indonesia, bahasa Inggris hanya bonus. Tidak ada karya sastra (kecuali yang dipinjam dari perpustakaan). Tidak ada buku humaniora sekuler seperti yang dikutip GM di Catatan Pinggirnya. [Kenapa aku jadi kurang “menghormati” Bapak yang membaca Syaikh Rasyid Ridha, Jamaluddin Al-Afghani, Enam Sunan Hadits, Empat Imam Madzhab?]

Ketika kuliah di Bandung, dengan cara berpikir yang lebih matang aku lebih menikmati Catatan Pinggir GM. Aku malah sempat selama dua tahun menjadi “loper” TEMPO di kampus, yang waktu itu memberikan potongan harga mahasiswa untuk setiap edisinya. Tapi kemudian kontakku dengan Catatan Pinggir (dan TEMPO) terputus (dan tidak tersambung lagi) ketika TEMPO dibreidel. Kemudian aku mengikuti terpecahnya TEMPO sebagai sebuah perusahaan bisnis, ketika sebagian, dengan alasan idealisme, menolak investor yang konon berasal dari konglomerat (yang dicurigai akan menghilangkan independensi redaksional TEMPO), sementara sebagian lain menerima dengan alasan-alasan pragmatisme. Mungkin ada tempat lain yang bisa menceritakan kekisruhan internal ini lebih lengkap. Tapi apapun situasinya, aku masih mengenang pernah masuk ke lantai sekian di Gedung TEMPO Jl. Rasuna Said Jakarta, menemui seseorang di keredaksian TEMPO untuk membayar tunggakan tagihan pelanggan–karena kelalaianku sendiri–hampir satu juta rupiah (waktu itu harga pereksemplar masih sekitar 2500an rupiah). Karena sedemikian baiknya penyelesaian waktu itu, aku diberi 2 buah bloknote ulang tahun 20 TEMPO dan dan sebuah buku agenda tahunan dengan tulisan besar TEMPO di sampulnya. Sesudah TEMPO diberangus, setahuku GM kemudian menulis Catatan Pinggirnya di newsletter yang diterbitkan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Setelah reformasi, ketika TEMPO terbit kembali, GM kembali menulis Catatan Pinggir di sana. TEMPO bahkan sempat menerbitkan edisi Inggrisnya. Tapi dunia media massa cetak Indonesia sudah berubah. Kemudian TEMPO menjadi koran, dan seterusnya dan seterusnya.

Aku bukanlah fans GM, karena itu, aku tidak terus-menerus mencari di mana dia berada atau apa saja yang dituliskannya saat ini [dulu dalam salah satu Catatannya, GM mengutip Napoleon Bonaparte yang mengatakan, “Tidak ada akal sehat di kepala seorang fanatik”]. Yang jauh lebih baik yang kurasa bisa kulakukan adalah meneruskan perkenalan yang telah dia mulai dulu. Di Bandung, aku kemudian mencari Samuel Becket, Umberto Eco, Fyodor Dostoyevski, dan lain-lain… Beberapa di antaranya kutemukan, beberapa yang lain hingga kini belum. Beberapa di antara yang kutemukan kucari kembali, beberapa di antaranya kulupakan.

Tentang Dostoyevski, aku pernah menemukan The Brothers Karamazov-nya dalam cetakan yang amat tua, di Perpustakaan Pusat ITB, tapi kemudian kehilangan lagi, dan sampai sekarang masih terus kucari. Hingga saat ini, aku hanya memiliki bab “The Grand Inquisitor” dari novel itu. Konon katanya, demikian penting bab itu sebagai kritik Dostoyevski terhadap praktik gerejawi, sehingga dia bisa dibaca terpisah dari bagian The Brothers Karamazov yang lain. Tahun 2006, aku menemukan buku kecil berjudul sama, tetapi kecewa karena disitu dituliskan “abridged edition”. Tentang Milan Kundera, tampaknya wacananya yang lebih dalam masih terlalu tinggi buatku.

Dalam meneruskan perkenalan oleh GM itu aku kemudian menemukan sebuah irama yang pribadi. Aku merasa ketika aku mencari sendiri, dunia yang terbuka ini mengantarkanku kepada keajaiban-keajaiban baru pikiran dan tindakan manusia. Yang mungkin berbeda atau tidak seperti yang didapatkan GM dalam perkenalannya sendiri. Irama yang pribadi ini sering mengantarkanku meloncat dari satu keajaiban ke keajaiban yang lain. Tidak ada yang linier, tidak ada sekuensial yang kaku. Dulu, dari Becket, yang kutemukan Waiting for Godot-nya di British Council Bandung, aku menemukan George Bernard Shaw (semata-mata karena lemari bukunya dekat saja sebetulnya). Aku juga kemudian mendapatkan The Name of the Rose Eco, dari seorang teman di FSRD ITB, Alfathri Adlin, yang beberapa tahun yang lalu akhirnya menerjemahkan buku itu, termasuk naskah-naskah Latin di dalamnya [yang pasti memusingkan pembaca teks Inggrisnya, termasuk juga aku]. Yang masih dilengkapi Alfath lagi dengan sejenis companion-nya. Aku juga jadi sangat akrab dengan British Council, Pasar Buku Cikapundung, dan salah satu kios buku di Palasari yang mengambil spesialisasi novel dan buku-buku “unik”. Begitulah kira-kira bagaimana aku mencoba meneruskan perkenalan yang sudah dimulai GM.

Aku meneruskan perkenalan dan menemukan irama yang lebih pribadi itu bukan karena aku ingin membuktikan apakah GM benar atau salah. Kekagumanku tidak dicampuri oleh afirmasi atau falsifikasi terhadap tulisan dan pikiran-pikiran GM. Kekagumanku dalam hal ini adalah tentang bagaimana sabar dan tenangnya GM ketika menjadi murid ketika berhadapan dengan orang-orang yang dia tuliskan itu. Itulah yang bagiku layak untuk dijadikan inspirasi. Jadi, setiap kali aku ke toko buku, entah toko baku baru atau toko buku loak, di sebelahku berjalan Goenawan Mohammad.

Epilog: Tulisan ini kubuat hanya berdasarkan ingatan. Karena itu belum ada link yang mungkin membantu untuk memahami dan memeriksa beberapa hal yang kusebutkan. Aku berharap, kalau ada waktu cukup, link-link itu akan kusambungkan.