Tulisan ini dibuat setelah seseorang menanyakan mengapa bukan aku yang berangkat, ketika dalam tulisanku yang lain, aku menggugat tokoh-tokoh agama Islam yang tidak datang menekan Pujiono, pengusaha yang mengawini anak perempuan 11 tahun 8 bulan di dekat Semarang. Sebuah perkawinan yang jelas-jelas melawan Undang-Undang Perkawinan yang dulu bagian terbesarnya disusun oleh ulama-ulama Islam Indonesia. Dalam mempersiapkan tulisan ini justru kemudian aku dicerahkan tentang kenapa banyak manusia yang tidak peduli pada kejahatan.

1961 April—Agustus: Adolf Eichmann, letnan kolonel SS Nazi yang bertanggung jawab mengirimkan Yahudi Eropa ke kamp-konsentrasi, disidang di Jerusalem. Majalah New Yorker meminta Hannah Arendt menuliskan laporannya tentang persidangan ini.

1963: Laporan itu disempurnakan dan diterbitkan sebagai: Eichmann in Jerusalem: A Report on The Banality of Evil. Buku ini sudah sangat banyak dikutip untuk dipuji maupun diserang.

Arendt datang ke Jerusalem bukan untuk mengetahui bagaimana rencana pemusnahan Yahudi dijalankan, tetapi mengapa. Eichmann, sebagaimana sejarah mencatat, tidak pernah merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Dalam pembelaan dirinya, ia menyatakan dengan yakin bahwa ia hanyalah seseorang yang mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan oleh seorang bawahan yang patuh. Eichmann dapat sama tenangnya menganalisa jalannya persidangan, sebagaimana ketika menguraikan pembantaian yang diorganisir dan diawasinya. Tanpa sedikitpun penyesalan. Laporan suami istri psikiater-psikolog yang memeriksanya selama masa tahanan, Shlomo dan Shoshana Kulcsar, menekankan ketidakmampuan Eichmann untuk mengalami kemanusiaan—semacam perasaan terhubung dengan manusia lain. Orang-orang diorganisirnya hanya sebagai benda-benda. Kehangatan perasaan manusia dan kebutuhannya akan kedekatan, keterhubungan, dan simpati tidak dirasakan Eichmann, bahkan dorongan kemarahan dan agresipun tidak dapat diterimanya.

Arendt, dalam bukunya menemukan masalah dan jawabannya dengan mengatakan bahwa inilah the nature of the bureaucratic mind—a world of operations without consequences, information without knowledge. Demikianlah Arendt kemudian menyimpulkan tentang Eichmann: It was as though in those last minutes he [Eichmann] was summing up the lessons that this long course in human wickedness had taught us—the lesson of the fearsome, word-and-thought defying banality of evil.

Kata-kata banal-lah yang membuat sebagian pengkritik Arendt menudingnya pengabai genosida. Karena banal berarti sesuatu yang “manusiawi”, sehari-hari, remeh-temeh, kau bisa akupun bisa, atau seperti sendu Broery Pesolima, “Aku begini. Engkau begitu. Sama saja…” Bagi Arendt, kejahatan-kejahatan besar tidak membutuhkan penjahat-penjahat besar. Tidak membutuhkan ideologi, cukup ambisi untuk menjadi seorang prajurit yang patuh pun sudah cukup. Bahkan genosida, sebuah tindakan pemusnahan manusia yang disengaja dan sistematis, bisa saja dilakukan atau difasilitasi oleh orang-orang dengan pikiran sederhana di sekitar kita. Maret 1998, Vatikan mengakui sikap diam Gereja Katolik dalam pembunuhan Yahudi di Eropa selama Perang Dunia, bahkan membiarkan orang-orang Katolik yang dikirim ke kam konsentrasi hanya karena mereka Yahudi. Tahun sebelumnya Gereja Katolik Perancis melakukan hal yang sama.

Mungkin yang paling memukau dari penjelasan Arendt adalah betapa setiap orang memiliki kompleksitas motif, baik dan jahat. Pertarungan antara sisi gelap dan sisi terang itulah esensi kejahatan, entah apapun baju ideologi yang kita pakai. Jangan dikira karena kita merasa lebih taat dari orang lain semua yang kita lakukan benar. Setan mungkin gemetar mendengar keikhlasan kita, tapi ‘Atid tidak akan berhenti mencatat semuanya hanya karena Setan gugup. Joseph Conrad, yang menulis The Heart of Darkness, menyatakan, A belief in a supernatural source of evil is not necessary; men alone are quite capable of every wickedness.

Kemudian Israel W. Charny menulis tentang sekelompok manusia lain yang diwakili Eichmann, yaitu orang-orang yang memutuskan diri mereka dari makna berbagai peristiwa penghancuran orang lain dengan terus menerus menjalani hidup mereka begitu saja, terus saja menjadi bystanders yang tidak mengambil tindakan untuk memprotes penghancuran-penghancuran itu, karena bukan menjadi minat mereka untuk mempertaruhkan diri mereka sendiri. Dalam bukunya yang lain, On Revolution, Arendt menulis “Only crime and the criminal, it is true, confront us with the perplexity of radical evil; but only the hypocrite is really rotten to the core.”

Menurutku, kemunafikan adalah mengaku mencintai kebenaran tetapi memutuskan hubungan dengan penderitaan dan kesulitannya. Karena itu, kemunafikan terbesar bukanlah pada tindakan kejahatan di balik wajah kebaikan, atau memiliki motif buruk di balik tindakan baik, tetapi pada penolakan untuk menderita demi menjaga kebaikan. Beberapa di antaranya menolak menderita dengan menghitung-hitung akumulasi kebaikan yang dimilikinya, sementara yang lain menolak untuk menatap manusia tepat di blind spot penderitaannya…

Mungkin inilah penjelasan mengapa nahi munkar diletakkan setelah amar ma’ruf . Amar Ma’ruf adalah “memerintahkan kebaikan” sedangkan Nahi Munkar “melarang keburukan”. Karena lebih mudah menghadapi orang-orang yang mempercayai Hari Pembalasan, kemudian menceritakan pada mereka bagaimana mencari uang, dibanding menghadapi orang-orang yang mempercayai uang, kemudian menceritakan tentang bagaimana menghadapi Hari Pembalasan. Jauh lebih mudah berhadapan dengan sejumlah orang yang semuanya sudah satu seragam dengan anda, dibanding berhadapan dengan the dirty dozen. Ada kisah kuno tentang seorang ahli ibadah yang berniat menebang pohon yang menjadi sumber kemusyrikan, berkelahi dengan personifikasi setan, menang, sebagai kompensasi mendapatkan beberapa dinar di balik lapik tidurnya, tapi kemudian kalah segala-galanya karena bersedia berkompromi secara spiritual dengan pembela kemusyrikan itu. Beberapa menyebut ini sebagai pelajaran tentang keikhlasan, tapi pragmatisnya, inilah contoh nyata adagium jangan coba-coba kepingin naik kelas spiritual dengan main-main dengan setan.

Mungkin itu pula penjelasan mengapa dalam Qur’an Suci dalam semua pertemuan (9 kali) dua buah kata dalam beberapa derivatnya, nadziraa lebih belakangan dari basyiraa. Basyiraa adalah Pemberi Kabar Bahagia untuk orang-orang baik dan nadziraa Pemberi Kabar Buruk bagi orang-orang jahat. Kemudian semua pemasangan dua kata ini merupakan afirmasi Tuhan tentang tugas kenabian. Tidak ada seorang pun utusan Tuhan yang tidak mengalami luka fisik maupun psikis ketika menyampaikan Kabar Buruk bagi orang-orang jahat, padahal nantinya mereka hanya diingat oleh orang-orang yang percaya pada Kabar Bahagia yang mereka sampaikan.

Jadi, mengapa Nash tidak berangkat ketika kejahatan terjadi?

Korosi paling parah adalah karena Nash orang yang munafik. Nash ingin seperti nabi, tapi Nash tidak berani (jangan lagi suka!) konfrontatif terhadap kejahatan. Nash menggunakan standar ganda terhadap kejahatan dan kebaikan. Nash silau terhadap kesuksesan, status, dan atribut sosial lainnya sehingga buta terhadap penderitaan orang-orang yang sepanjang hidupnya menjaga kebenaran, atau orang-orang yang kepalanya diinjak oleh sebagian orang untuk mengejar kesuksesan yang Nash kagumi.

Pada korosi moderat, Nash adalah orang yang tidak peduli pada kepentingan orang lain. Nash adalah orang yang jarang sekali menggunakan perasaan ketika melihat manusia lain. Nash mengganggap kebaikan dan kebenaran itu sudah selesai seperti apa yang dituliskan di buku-buku atau yang diceritakan dalam pesan agama di antara iklan-iklan di televisi, bukannya apa yang ditemukannya di dunia nyata kemudian bereksperimen dengannya. Nash percaya sekali bahwa dengan apa yang sudah dipunyainya sekarang, dia sudah cukup baik dan memikirkan masalah orang lain adalah… ngga gue banget.

Sementara korosi yang paling sedikit, Nash adalah orang yang selfish, hanya memikirkan diri sendiri. Nash adalah orang yang berteriak-teriak tentang keadilan hanya bila dia yang menjadi korban kezaliman, hanya ketika zona amannya terancam. Semakin mapan Nash, semakin tersier lingkar zona amannya. Kalau zona amannya kembali stabil, maka bagi Nash hidup ini adalah dog eat dog.

Jadi kalau kapan-kapan anda melihat Nash berada dalam sebuah situasi kezaliman dan dia diam saja. Entah Nash itu sedang hypocrite, entah hands-off, entah selfish, entah ketiganya, tapi minimal pasti salah satu di antaranya, tolong ingatkan saja dia.

Epilog:
Majalah New Yorker pertama kali kusentuh kira-kira 3 tahun lalu di American Corner salah satu kampus, padahal sudah kucari sejak akhir 90an. Mungkin di American Corner-lah satu-satunya tempat membaca majalah ini, atau mungkin Konsulat/Kedubes AS. Setahuku, di rak majalah asing Gramedia, bahkan di Trimedia pun, majalah ini tidak pernah tampak. Yang enteng, New Yorker menarik karena kartunnya. Meskipun bukan majalah sastra, tapi di dalam box-nya banyak ditampilkan puisi yang bagus.

Eichmann in Jerusalem: A Report on The Banality of Evil. Aku menemukannya pertama kali dikutip dalam sebuah buku tentang bagaimana memaafkan luka hati yang tidak sepantasnya kita terima oleh Louis B. Smedes, pada bagian bagaimana memaafkan orang yang tidak pernah merasa bersalah. Hannah Arendt (1906-1975) sendiri adalah seorang Yahudi, seorang akademisi ilmu politik yang serius dan menghabiskan masa hidupnya mengajar di perguruan tinggi. Dia adalah profesor perempuan pertama di Princeton, sumbangan terbesarnya adalah analisis psikologis terhadap totalitarianisme dan genosida.

The Heart of Darkness. Sekitar 15 tahun lalu, di lobi dekanat Fakultas Sastra UNPAD Bandung di Jatinangor, seorang dosen Sastra Inggris memberikan nasehatnya untuk dua mahasiswa: “Bayangkan bagaimana kejahatan bisa begitu mengerikan bila dijadikan manusia sebagai sumber kekuatan…The Heart of Darkness, Joseph Conrad”. Aku bukan mahasiswa yang ditujunya, tapi karena duduk di dekat mereka, nasehat ini aku kupingi. Beberapa tahun kemudian, aku juga mengetahui setelah menontonnya bahwa salah satu film terbaik pertengahan 80-an, Apocalypse Now, yang menceritakan kegilaan manusia di Perang Vietnam, merupakan adaptasi dari novel yang terbit 1902 ini,. Kalau seorang sutradara hebat ingin mengadaptasi sebuah buku, buku itu layak dibaca, entah kita suka filmnya atau tidak.

Aku mencari ayat-ayat “basyiraan wa nadziraan” dengan menggunakan Al-Qur’an Al-Kariim terbitan Daaru ar-Rasyiid Damsyik-Bairut. Yang paling kusuka, di situ ditambahkan juga tafsir dan penjelasan kata, serta sebab-sebab turun ayat versi Jalaluddin As-Suyuuthi, dan indeks frasa dan kata. Yang relevan kali ini adalah yang terakhir. Aku mendapatkan mushaf compact ini sebagai hadiah pulang haji dari seorang sahabat yang kerendahan hatinya kukagumi, Ery Djunaedy, kira-kira 14 tahun yang lalu. Aku masih membaca dan mencari ayat dengannya. Hadiah terbaik apa yang pernah anda terima mungkin memang harus diperiksa dengan mengukur attachment anda dengannya setelah belasan tahun berlalu.

The Dirty Dozen adalah judul film tua (1967) beraroma Perang Dunia II, bercerita tentang selusin pecundang dan bajingan yang direkrut untuk misi bunuh diri melawan Nazi. Seorang penulis buku tentang Piala Oscar menulis tentang film ini: “Often imitated never bettered”.

‘Atid dalam Islam adalah malaikat yang bertugas mencatat perilaku-perilaku buruk manusia.

Jadi sekarang terbukalah sudah bahwa ini sebetulnya (setidaknya begitu) bukan persoalan sah-tidak sahnya pernikahan. Bukan soal Fiqih Munakahat. Bukan soal Islamik. Hell to MUI!
Bukan pula soal anak yang dipekerjakan. Bukan soal Hak-hak Anak yang dirampas. Apalagi Human Trafficking..Muke lu jauh! Hell to Komnas Anak!

Ini persoalan C-I-N-T-A, Bung! Sayup-sayup dari Wiltshire, Sting menyanyikan: “Love Stronger than Justice”…sebuah lagu yang sekonyong-konyong menjadi ironi di rumah Pujiono Who? waktu Seorang Seto datang ke rumahnya dan dengan alasan demi keadilan ingin membebaskan seorang anak perempuan yang mengaku cinta laki-laki yang 10 tahun lebih tua dari ayahnya.

Kemudian ada lagi Farid Bani Adam a.k.a Farid Hardja waktu masih muda beberapa dekade lalu dari Bandung bersenandung tentang Karmila, “…kau berulang tahun kutuang minuman ke dalam gelas, pada saat itu kutau usiamu baru sebelas…tak kuduga kau balas cintaku, penuh kasih, bagai ‘rang dewasa…usia muda tak tampak padamu…dikau, yang terakhir…” Di akhir tahun 2008, Farid Hardja jadi terdengar seperti seorang laki-laki yang terlalu mabuk atau terlalu besar kepala oleh cinta, karena sebelum Seorang Seto datang, Pujiono Who? sudah merepet tentang dua rencana pernikahan berikutnya: 7 tahun dan 9 tahun. Ulviana Siapa Itu bukan Karmilanya yang terakhir.

Awalnya, sudah agak mengerenyit kening melihat seorang laki-laki setengah umur membual tentang ambisinya mencari seorang calon manajer dari kalangan anak-anak perempuan yang belum berulang tahun ke-12, kemudian akan membuat anak itu menguasai dunia bisnisnya di usianya yang ke 21. Dan agar memenuhi ajaran agama, anak perempuan itu dinikahi saja sekalian. Too good to be true… itulah yang disebut bualan.

Tapi yang amat membuat ingin muntah adalah bagaimana Ibu Suri Aisyah, istri Nabi Kekasih Allah, Muhammad [cinta, rindu, dan terima kasih baginya], di bawa-bawa dalam kasus ini, disorong-sorongkan dalam bentuk sebuah buku ke depan kamera televisi. Melihat seorang laki-laki snob memamerkan mobil-mobil mewahnya dan akhirnya membawa reporter televisi beserta kamerawannya keliling-keliling di jalan raya dengan korvet mahal merek whatever, kemudian mengklaim meniru pernikahan seorang Nabi—yang tidak pernah memikirkan harta dalam hidupnya dan memilih untuk hanya mewariskan kehidupannya an sich bagi orang-orang sesudahnya, sebetulnya sudah cukup untuk membuat seorang bertipe Umar bin Khattab menumpahkan darah atas nama kehormatan Nabi!

Yang SAAT INI sungguh-sungguh berani menghadapi orang seperti ini: Kaya, Agamania* sambil tetap mempertahankan syahwat yang unik dan berapologi: “Ustad juga manusia”, tampaknya justru yang tidak terlalu peduli pada agama. Tentu saja tidak perlu sungguh-sungguh tidak peduli—cukuplah yang berpendapat agama itu urusan pribadi. Orang-orang yang tidak pernah menjadikan agama sebagai argumentasinya ini yang justru mau repot-repot datang ke Pujiono Who? mengurus nasib anak perempuan di bawah umur yang dinikahinya.

Begitulah terasa mengerenyit lagi kening ketika melihat Seorang Seto, yang bukan ulama, menasehati seorang yang memasang “syeh” di depan namanya, tentang hak-hak anak perempuan dan bagaimana memperlakukan mereka sebaiknya. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa inilah seorang pemilik pesantren yang ternyata masih juga tidak bisa mengendalikan syahwatnya sendiri. Seorang Seto tidak pernah bersisi-sisian dengan harakah Islam tertentu, demi menegakkan ajaran Islam di muka bumi ini, tapi itulah yang dilakukanya terhadap seorang pemilik pesantren.

Jadi kalau Seorang Seto sampai harus turun tangan menasehati seorang syeh tentang akhlak terhadap anak perempuan, siapa yang ditampar wajahnya sebenarnya? Kenapa bukan Hasyim Muzadi dikawal Pagar Nusa yang ke sana? Kenapa bukan Dien Syamsuddin diantar Tapak Suci? Apa kabar Abdurrahman Wahid? Apa kabar Abdullah Gymnastiar? Apa tidak bisa pengasuh pondok pesantren dinasehati oleh pengasuh pondok pesantren yang lain saja? Apa Undang-Undang Perkawinan itu bukan para ulama Indonesia yang dulu menyusun dan memverifikasinya demi kepentingan umat Islam Indonesia? Apa lebih seksi bagi tokoh-tokoh agama di sini untuk bicara dan bicara dan bicara tentang nasib bangsa dibanding bertindak jelas dan tegas demi nasib seorang anak perempuan in flesh and blood?

Dari mengerenyitkan kening saja, akhirnya sesaklah napas melihat betapa menakutkannya bila di antara kita orang-orang Islam yang memiliki pengaruh dan kekuatan hanya diam menghadapi keadaan seperti ini. Sesak napas melihat kemudahan syarat dan rukun pernikahan dalam Islam dimanfaatkan dengan cara seperti itu. Melihat bagaimana anak-anak perempuan diperlombakan untuk seorang laki-laki yang pantas menjadi ayah mereka, kemudian dipindahtangankan begitu saja dengan embel-embel pernikahan dari ayahnya kepada laki-laki lain. Sangat sesak dan berat menarik napas melihat bagaimana perempuan bahkan dalam usia semuda itu sudah dijadikan komoditas atas nama agama dan ditempatkan dalam posisi point of no return. Kemudian BAYANGKAN APA YANG DIPIKIRKAN OLEH ORANG-ORANG YANG SUDAH BERPRASANGKA TERHADAP ISLAM ketika mereka melihat peristiwa ini!

Dan akhirnya, tentang cinta.

Apa yang bisa dikatakan pada seorang anak perempuan 11 tahun yang mengaku sudah cinta pada laki-laki 43 tahun yang menikahinya beberapa minggu dan tidak mau dipisahkan barang seharipun, kecuali serangkaian pertanyaan retorik?

Apa yang dia maksud dengan “cinta”? Apakah ini sejenis Cinta Erotik? Erotisme apa yang bisa dirasakan anak perempuan semuda itu? Apakah ini Platonik, dan kalau Platonik, demikian lemahkah figur ayah hingga dia harus dicarikan ayah lain, dan mengapa harus dengan status suami istri? Mengertikah anak ini wilayah seperti apa yang dimasukinya? Apakah masuk akal menganggap pernyataan cinta seperti itu sebagai sesuatu yang masuk akal?

Tapi sayangnya cinta tidak bisa terlalu banyak ditanya. Kalau dipertanyakan, itu artinya dia dipancung. Kalau dia dipancung, di depan altar kematiannya, akan ada sejuta penyair yang bersedia menyerahkan nyawa demi menjaga kehidupannya. Bahkan kaum sufi pun mungkin akan menangis bila cinta terlalu banyak diperdebatkan, bukan dirasakan.

Jadi kupikir, kalau cinta itu jujur, maka inilah penjelasan untuk semua kerumitan ini. Seorang tua yang sakit-sakitan jatuh cinta pada seorang anak ingusan bukanlah dongeng di dunia ini. Seorang anak ingusan yang jatuh cinta pada seorang yang tua dan sudah ingusan kembali, juga bukan tidak pernah terjadi. Cinta adalah penjelasan yang tidak masuk akal tapi sempurna.

Jadi semuanya bukan hukum. Bukan bisnis. Bukan agama. Semuanya adalah cinta. Lasciar ingenuo ma sempre! Biarlah Naif asal Selamanya! Dan sesudah semua keributan ini, kita akan bergegas keluar sambil pura-pura menghibur kawan berdebat tadi bahwa dunia akan baik-baik saja dan si anak perempuan akhirnya akan bahagia juga, dan kemudian dalam perjalanan pulang sendirian kita akan memikirkan lagi semuanya dengan perasaan dibodohi dan dipermalukan, geram dan masam, seperti seorang tamu dijamu air teh yang diberi garam, kemudian menelannya semulut penuh.

Epilog:
Dalam salah satu dramanya, School for Wives, Moliere, seorang dramawan Perancis Abad 17, yang konon kalimat-kalimatnya di Perancis dikutip seperti Shakespeare dikutip di Inggris, menceritakan Arnolphe yang berusaha membentuk pengantin perempuannya yang jauh lebih muda, Agnes, menjadi seperti yang diinginkannya, dengan memasukkannya ke biara, dan akhirnya gagal. Drama itu menunjukkan bagaimana kemunafikan, ekstrimitas, kesombongan, sikap tiranik, dan ketamakan akan dikalahkan oleh kemurnian, sikap seimbang, keinginan untuk selalu membebaskan, dan mengalir bersama rencana alam.

Itulah yang awalnya aku pikirkan ketika pertama kali mendengar pernikahan—dan semua rasionalisasinya—antara Pujiono Who? dan Ulviana Siapa Itu di sebuah desa di sekitar Semarang. Tapi kemudian tampaknya pikiranku tentang soal ini perlu direorientasi.

Yang sangat ingin aku ketahui, apakah reaksi Seorang Seto, ketika di depannya seorang anak perempuan semuda itu berbicara tentang cinta.. Agaknya beliau belajar lebih banyak dalam hal ini dibanding ketika menjadi konsultan dalam kasus Maia vs Dhani atau Tamara vs Rafli.

Beberapa tentang Moliere, dapat ditemukan di Encarta, atau, yang ada kubaca pada Encyclopedia of World Writers atau juga di Merriam-Webster Encyclopedia of Literature.

*Agamania maksudnya tidak perlu benar-benar tokoh agama—cukuplah memakai busana padang pasir kalau bisa warna putih. Tidak perlu kafiyeh, cukup kepala berlilit sorban seperti Pangeran Diponegoro. Ada asesori tasbih, kalau tidak bisa diputar-putar di jari, kalungkan saja di leher. Jangan lupa jenggot, tapi ingat haute couture lebih penting dari pada jenggot.

==Teks berikut ini adalah pesan lama yang pernah kukirimkan ke salah satu milis pada Sat Sep 16, 2006 4:22 pm di salah satu milis aktivis masjid kampus di Bandung==

Mei 2005. Sebuah pesan berisi laporan pandangan mata tentang diskusi buku di salah satu Masjid di Jakarta, dimasukkan ke salah satu milis yang saya ikuti. Berikut ini komentar lengkap saya terhadap pesan tersebut.

Beberapa minggu yang lalu (?!) di milis ini diforward pesan yangberisi pelaknatan terhadap Jaringan Islam Liberal. Ceritanya berawaldari sebuah diskusi buku. Pesan asli tampaknya ditujukan sebagai laporan pandangan mata tentang kejadian itu, tapi penulisnya kemudian
menambahkan beberapa kalimat pelaknatan. Aku tidak tahu mengapa pesan-pesan pelaknatan terhadap sebuah kaum dikirimkan ke milis ini. Tapi inilah komentarku:

Aku terkesiap bahwa di antara kaum Muslimin, masih ada juga Jama’ah Pelaknat. Jama’ah yang sehabis berdebat tentang sesuatu–yang perdebatan itu, secara fisik dicampur sorak-sorai, tepuk tangan, tuding-tudingan tangan, dan secara psikologis dicampur ujub dan takabbur karena jumlah pendukung yang lebih banyak–kemudian merasa berhak melaknat orang lain.

Bagiku, Jama’ah Pelaknat muncul lebih karena KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN SEBAGAI PELAKNAT, dari pada karena keluasan ilmu dan kearifan dalam memahami Islam. Anda tahu bahwa beberapa orang, entah agama apapun yang mereka peluk, akan tetap menjadi seseorang yang suka melaknat orang lain. Tidak peduli apakah ilmu dan pengalaman beragama mereka luas atau sempit, tidak peduli apakah ilmu dan pengalaman orang yang mereka tuding luas atau sempit, orang-orang ini akan tetap melaknat.

Kalau mereka diajak berdikusi tentang agama, mereka hadir dengan pretensi bahwa KEBENARAN ADA DI SINI, dalam argumentasi yang mereka tulis, bahkan dalam jumlah orang yang mereka bawa. Mereka hadir dengan niat seorang pembantai. Goenawan Mohammad pernah menulis dalam catatan Pinggirnya di Majalah TEMPO, tentang orang-orang yang selalu membutuhkan korban untuk bisa merasa dirinya berharga. Mereka ibarat Tarzan yang setelah membunuh singa, masih merasa perlu menginjak korbannya, sambil berteriak kemenangan. Para Pelaknat ini, merupakan derivat yang lebih kompleks dari para Pembukti. Para Pembukti, bukan hanya dalam beragama, tapi juga sepanjang hidupnya, selalu merasa perlu membuktikan sesuatu pada orang lain–bahkan dalam tingkat yang lebih patologis. Kalau orang lain itu tidak ada, mereka merasa terus dituntut untuk membuktikan pada dirinya sendiri–tentang apapun. Para Pembukti selalu merasa perlu membuktikan bahwa mereka lebih kuat,
lebih cerdas, lebih mampu, lebih-lebih-lebih… Mereka dibesarkan (atau membesarkan diri) dengan cara pandang yang curiga terhadap hidup dan manusia. Mereka percaya: JIKA DAN HANYA JIKA MEREKA BISA MENANG, BARULAH MEREKA BERHARGA. Syarat perlu dan cukup bagi mereka untuk hidup adalah menang dalam kompetisi. Ketika mereka berada dalam ranah agama, yang memang membicarakan surga-neraka, tersesat-terselamatkan, malaikat-syetan, dan yang terpenting: TERLAKNAT DAN TERBERKATI, maka kita akan melihat para Pelaknat yang paling sophisticated di kelasnya. Yang membuat mereka paling canggih adalah karena mereka memiliki fitur PLAYING GOD. Berdiskusilah dengan mereka tentang agama, kemudian mereka akan menekan tombol enter, dan akan keluar kesimpulan apakah anda akan di surga atau neraka. Mereka sudah siap dengan semua jawaban terhadap pertanyaan, mereka sudah memiliki semua afirmasi untuk semua keragu-raguan yang anda temukan dalam Islam…bukan karena mereka para nabi dan rasul, tapi karena mereka BERMAIN SEBAGAI TUHAN. Ya, alam pra-sadar para Pelaknat selalu mengandaikan: SEANDAINYA AKU MEMILIKI NERAKA DAN SURGA, KEMANA ORANG INI AKAN AKU MASUKKAN?–dan bukankah katagori paling sederhana untuk memisahkan surga dan neraka adalah TERLAKNAT VS TERBERKATI?

Bila anda ingin menguji apakah kaum Pelaknat merupakan fungsi eksponensial dari psikologi pelaknat, ataukah fungsi eksponensial dari pemahaman agama, coba tanyakan pada orang-orang ini (yang dapat diindikasikan dengan mudah dari pesan-pesan pelaknatan yang mereka tulis sendiri, atau mereka forward, tentang sebuah ide atau kelompok agama lain–dalam milis ataupun sms) pertanyaan-pertanyaan sederhana: Seberapa lama mereka mempelajari agama ini? Seberapa banyak ilmu alat, ilmu ushul, dalam agama ini yang mereka pahami? Seberapa rentang sejarah Islam yang mereka pelajari? Pernahkah mereka mempelajari agama ini dalam bahasa dan kultur sumbernya? Sejak kapan mereka mulai merasa membutuhkan memahami dan mengalami agama lebih dalam? Krisis apa yang pernah mereka alami dalam beragama? Seberapa heterogen pemeluk agama yang pernah mereka kenal dekat?

Aku ingin membandingkan Jama’ah Pelaknat ini dengan orang-orang yang berdiskusi dengan pretensi KEBENARAN ADA DI SANA–di sebuah tempat yang belum kita kenal, terra incognita. Atau di atas kepala kita, yang “…seandainya kita bersedia menjinjitkan sedikit saja kaki kita, mungkin kita akan dapat merengkuhnya”, begitulah pernah ditulis Joe, rekan seangkatan Fahmi Munsah di Salman. Para PENCARI ini tidak pernah merasa memiliki jawaban final, analisis final. Yang ada adalah PERTANYAAN DAN PERJALANAN. Bukan jawaban final yang mereka cari, tapi ketenangan batin. Ketenangan batin yang bukan didapat dari berbagai argumentasi dan perdebatan, tapi melalui eksperimen- eksperimen dengan hidup dan kebenaran. Kalau kita bertemu mereka, mereka tidak akan menawarkan sebuah jawaban pada kita, mereka justru akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi cermin bagi kita. Aku ingat, Warren Bennis, tahun 1989, resi manajemen itu pernah menulis tentang krisis kepemimpinan di Amerika Serikat, katanya: KITA MEMBUTUHKAN SESEORANG YANG CERDAS, YANG BERSEDIA BERBAGI KECERDASANNYA, DAN KETIKA MENDENGARKAN PIKIRAN-PIKIRANNYA, KITA AKAN MERENUNGKAN HIDUP KITA.

Para PENCARI tidak akan mengacungkan telunjuknya ke arah kita, tapi ke sebuah tempat di ujung sana, yang tidak bisa kita lihat, tapi suara hati kita mengatakan dari sanalah kita datang, dan kesanalah kita akan kembali. Dari pada menawarkan sebuah tempat untuk berteduh bagi jiwa keagamaan kita yang kekanak-kanakan yang penakut dan dependen, mereka justru menawarkan sebuah perjalanan yang harus kita tempuh sendiri, untuk menemukan betapa pentingnya menghadapi rasa takut, betapa pentingnya menemukan tempat bergantung SEJATI, dan apa arti kekalahan yang sebenarnya.

Aku ingin menegaskan betapa pentingnya perjalanan bagi orang-orang ini. Mereka tidak pernah berhenti karena mereka digerakkan oleh pertanyaan-pertanyaan abadi. Alih-alih berusaha membuktikan dirinya benar, mereka justru sibuk mengekspresikan diri, sehingga akan menghormati ekspresi diri anda. Karena mereka MUSAFIR SEJATI, maka mereka akan menghormati perjalanan anda, akan dengan sabar mendengarkan tempat-tempat anda pernah berhenti dan singgahi, cerita tentang saat-saat anda tersesat, tentang kepedihan yang anda alami ketika kehilangan bekal sementara perjalanan anda masih jauh, dan tentu saja mengenai segala sesuatu yang harus anda buang karena akan menyulitkan perjalanan hidup anda. Kalau mereka menemukan sesuatu yang ganjil dalam pikiran dan tindakan anda, alih-alih melaknat, mereka justru bertanya: INIKAH ANDA YANG SEBENARNYA? INIKAH ANDA YANGANDA INGINKAN UNTUK DIKENANG ORANG LAIN KETIKA MEREKA MELIHAT BATUNISAN ANDA?

Dengan semua ini, merekalah reprepsentasi para Nabi. Para Nabi merupakan teladan bagaimana seorang Pencari Sejati melakukan semuanya–ingatlah pencarian Ibrahim, perjalanan Musa, khalwatnya Muhammad. Para Nabi adalah manusia biasa yang sesekali diingatkan karena salah mengambil keputusan. Para Nabi adalah orang-orang yang menentang zamannya. Para Nabi melawan apa yang dianggap tradisi. Tapi sekalipun begitu, mereka tidak pernah BERMAIN SEBAGAI TUHAN. Mereka terlalu mencintai manusia sehingga tidak mampu melaknat, sekalipun mereka terancam sepanjang hidupnya. Mereka diikuti, menurutku, bukan karena argumentasi-argumentasi dan menang dalam perdebatan, tapi karena mereka membantu kita dalam perjalanan menemukan makna hidup. Akuilah bahwa Muhammad (Ya Allah, sentuhkanlah hidup kami dengan hidupnya) adalah seorang miskin yang gelisah, yang menurut riwayat, masih meratapi ummatnya ketika beliau menarik dan menghela nafas kematiannya. Karena itulah para nabi BIGGER THAN LIFE. Muhammad dicintai, ditangisi, diminta hadir dalam mimpi-mimpi, seribu lima ratus tahun setelah kematiannya, BUKAN KARENA KITA MENEMUKAN CATATAN BAHWA BELIAU MELAKNAT ORANG-ORANG YANG BERBEDA PANDANGANNYA.

Waktuku sudah habis… aku berhenti di sini

He deals the cards as a meditation
And those he plays never suspect
He doesn’t play for the money he wins
He doesn’t play for respect

He deals the cards to find the answer
The sacred geometry of chance
The hidden law of a probable outcome
The numbers lead a dance

I know that the spades are the swords of a soldier
I know that the clubs are weapons of war
I know that diamonds mean money for this art
But that’s not the shape of my heart

He may play the jack of diamonds
He may lay the queen of spades
He may conceal a king in his hand
While the memory of it fades

Sting, “Shape of My Heart”, Ten Summoner’s Tales, 1993

Dalam sebuah kutipan wawancara yang kudengar di sebuah radio di Malang, suatu waktu Sting ditanya tentang lagu ciptaannya yang menurutnya paling mewakili siapa dirinya. Sting menjawab “Shape of My Heart”. Deretan bait di atas adalah bagian terbanyak dari lirik lagu itu. Dua bait lagi, yang berisi tentang cinta, dan sikap menghadapi para pengkritik kutinggalkan.

Lagu ini adalah absurd dalam cerita dan tokohnya. Apakah hal terbaik yang bisa diharapkan dari seorang pemain judi kartu, selain dari keinginan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan mengandalkan keberuntungan dan nasib? Sementara yang buruk dalam perjudian begitu mendasar: Membutuhkan kerja sama paling sedikit dua orang yang sebenarnya tidak punya niat baik terhadap satu sama lain. Relasi beberapa penjudi dengan atau tanpa seorang bandar adalah sejauh yang satu bisa berharap dapat menghancurkan yang lain. Dengan mengandalkan dua cara: muslihat dan atau keberuntungan. Kesukaan melihat orang lain kalah demi kemenangan kita merupakan mengapa ada tawa di arena judi. Tawa seperti ini digabungkan dengan harapan kepada keberuntungan dan muslihatlah yang membuat judi menyenangkan. Dan konon kabarnya di kasino, kesenangan ini dilengkapkan dengan tidak dipasangnya jam dinding dan tidak bisa dibedakannya antara malam dengan siang di ruang-ruangnya, agar semua orang lupa waktu.

Tapi apa yang diceritakan Sting tentang seorang pemain kartu dalam lagu itu jauh berbeda. Aku bahkan tidak yakin apakah yang dilagukannya memang tentang seorang penjudi seandainya di situ tidak disebutkan tentang uang. Sehingga kemudian berjudi, bukan hanya menjadi persoalan finansial, tetapi juga eksistensial.

Menurutku, siapapun akan menjadi seorang eksistensialis ketika dia mengatakan “Aku memiliki bukan yang tampaknya aku punyai. Aku mendapatkan bukan yang tampaknya aku inginkan. Aku mencapai bukan yang yang tampaknya aku selesaikan. Aku memenangkan bukan yang tampaknya aku pertaruhkan.”

Hanya manusia yang bisa menyimpan pikiran seperti ini. Ini bukan soal kecerdasan generik yang dapat dipelajari dan dilatihkan pada simpanse, lumba-lumba, burung betet, atau Asimov . Ini adalah persoalan kemampuan manusia untuk keluar dari kotaknya, kemudian melihat dirinya dari sisi yang berbeda. Melemparkan dirinya ke depan sehingga tidak berakar di masa kini, atau melemparkan dirinya ke masa lalu seolah-olah tidak pernah sampai ke zaman ini. Konon itulah yang disebut eksistensi. Hanya manusia yang bisa membedakan apa esensi dan apa eksistensi, dan kemudian adalah tugas abadi untuk merenungkan itu sepanjang hidupnya. Secara sederhana, kita bicara tentang makna.

Kemudian teringatlah aku tentang para Abdal. Istilah ini aku baca dalam sebuah anekdot kaum Sufi belasan tahun yang lalu. Seingatku, diceritakan dalam kisah itu tentang seorang Guru Sufi yang di belakangnya mendapat kritik seorang Murid Sufi karena masih sibuk bekerja di pasar, yang dianggapnya terlalu profan karena mengejar duniawi. Guru Sufi lain yang mendengar kritik itu kemudian menyebutkan bahwa orang yang dia kritik adalah salah seorang dari para Abdal, Sufi Penyamar.

Abdal sendiri tampaknya merupakan kata bentukan dari badala, kata Arab, yang artinya mengganti. Bukan mengganti dalam arti hanya menukar sesuatu secara fisik, tetapi juga yang lebih abstrak. Lebih sederhana mungkin adalah badal, sebuah istilah dalam tata bahasa Arab, yang menunjukkan fungsi sebuah kata untuk mewakili kata yang lain. Kata “rasul”, dalam banyak teks merupakan badal bagi “Muhammad”. Badal berbeda dari kata ganti. Kata ganti amat terbatas dan baku, sementara badal adalah semua kata yang dapat dihubungkan dengan kata lain, untuk “mewakili”nya. Dalam penggunaan yang lebih tinggi, badal dapat hampir mirip seperti metafora—sebuah kata atau frasa yang sekilas tidak berhubungan, tetapi dipilih untuk mewakili sebuah ide. Konon kabarnya, kemampuan menggunakan metafor menunjukkan, bukan hanya kemampuan bahasa, tetapi juga pemahaman tentang keterhubungan gejala yang di mata orang awam, terputus. Salah satu ciri cluster orang-orang kreatif, kata riset Psikologi, adalah kesenangan mereka menggunakan metafora dalam menjelaskan idenya. Atau terinspirasi oleh sesuatu dengan cara yang metaforis.

Sebuah kisah lain yang mengambarkan para Abdal adalah ketika seorang Guru Sufi ditanya tentang berapa jumlah yang harus dibayar seorang murid untuk pelajaran sufi yang diberikannya. Setelah sang Guru menjawab, dia mendapat kritik keras karena meminta bayaran yang terlalu mahal, yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan kaum Sufi tentang dunia. Guru itu kemudian menjawab, “Nak, bagimu uang adalah kenyataan, bagiku ia hanyalah tanda”. Bagiku (Nash), jawaban “jumlah” selalu cocok untuk pertanyaan “berapa”, entah kita suka atau tidak dengan angkanya. Yang menjadi persoalan dalam cerita ini adalah bahwa ketika si penanya menganggap interaksi yang terjadi adalah transaksional, sayangnya, dia tidak menawar harga, tetapi mengkritik terlalu jauh. Karena belum memahami apa yang dia miliki dan apa yang dimiliki orang yang dianggapnya sebagai Sang Pedagang itulah maka kemudian, “bagimu kenyataan, bagiku hanya tanda”.

Tapi cerita yang paling kuat untuk dihubungkan dengan Sang Pemain Kartu yang diceritakan Sting adalah ketika seorang Guru Sufi yang mengenakan jubah yang mewah dikritik oleh muridnya karena seperti menunjukkan sikap bermegah-megah. Guru Sufi itu kemudian berkata, “Yang di luar ini untukmu”, kemudian dia menyibakkan jubah luarnya untuk menunjukkan jubah dalamnya yang jelek terbuat dari kain kasar, lusuh dan tua, dan berkata, “Sementara yang di dalam ini, untukku”.

Mendengarkan Sting dan membaca kisah para Sufi Penyamar, apakah kemudian yang menjadikan kita seorang profesional dalam bekerja? Apakah yang disebut Kaum Profesional, dan apakah Profesionalisme? ( keduanya dengan “P” besar)

Sebuah buku, True Professionalism, setelah menguraikan berbagai macam kriteria profesionalisme sejati, mengatakan bahwa satu-satunya jawaban yang memiliki nilai prediktif amat tinggi untuk meramalkan kecenderungan bersikap profesional—dalam arti sejauh hingga to make a difference, adalah ketika seorang kandidat mengatakan, “Saya ingin menolong orang lain”, ketika ditanya “Apa yang Anda inginkan dengan pekerjaan Anda?”

Sedangkan aku, aku hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah kontinuum. Atau aku mungkin hanya ingin mengatakan, “Kita harus berhenti meyakinkan orang lain bahwa, ‘Saya bekerja bukan hanya demi uang’—bila kita tidak berusaha (dan bisa) sungguh-sungguh menemukan hal yang berharga lebih dari uang, dalam apa yang kita kerjakan”. Supaya kebaikan tidak hanya menjadi jargon. Supaya kata-kata yang baik tidak menjadi terlalu murah hingga kita sendiri tidak percaya pada apa yang kita katakan.

Yang mematahkan hati menurutku adalah bahwa kita sering tidak jujur dan mengenakan terlalu banyak topeng ketika berbicara tentang uang. Kita terlalu banyak memasang syarat untuk bahagia, terlalu larut dalam keinginan akan hal-hal yang “lebih”, terlalu suka membanding-bandingkan kesenangan satu dengan kemudahan yang lain, terlalu takut kehilangan pijakan materialistik, dan terlalu banyak punya preferensi. Semuanya ini terlalu terlalu jelas hingga, [apakah aku salah bila mengatakan] pernyataan “Saya bekerja bukan hanya demi uang”, menjadi terdengar sangat konyol.

Kita, secara sederhana, terlalu ingin diberi hadiah, pujian, dan penghargaan.

Inilah yang kemudian mengurangi keberanian kita menempuh perjalanan mencari “the sacred geometry of chance/ the hidden law of probably outcome” dalam apa yang kita anggap sebagai profesi kita. Muhammad (menyedihkan mengingat jauhnya jarak batinku darinya), menunjukkan apa yang dimaksud ketika pada suatu kali dia menjanjikan jubahnya sebagai hadiah untuk sahabat-sahabatnya yang dapat shalat dengan hati dan pikiran terjernih. Ali bin Abi Thalib awalnya mengklaim hadiah itu karena merasa shalatnya amat jernih. Tapi Muhammad kemudian memberinya pelajaran berharga bahwa dengan hanya menginginkan jubah itu sebagai hadiah saja pun, Ali sudah mengganggu kejernihan hati dan pikiran sendiri dalam shalat.

Kegagalan kita mencari sesuatu yang lebih murni dalam apa yang kita kerjakanlah yang menurutku membuat kita kehilangan joyfulness, dan gagal menemukan flow. Sebuah konsep Psikologi yang menggambarkan seseorang yang hanyut dalam apa yang dikerjakannya, yang seolah lepas dari dimensi ruang dan waktu, dan memiliki enerji yang tak habis-habisnya. So intense, so effortless. Mereka-mereka yang berada dalam fase flow, tidak lagi melakukan sesuatu karena perintah, batas waktu, kuota, target, takut salah, atau bahkan ingin kesempurnaan. They just do it and flow in it. Bagian terpenting dari tugas psikolog di Manchester United FC, salah satunya adalah membantu para pemain memasuki fase flow ini dalam menghadapi kompetisi yang ketat. Peak performance itu, di level kompetisi yang demikian tinggi seperti English Premier League, katanya, bukan lagi persoalan fisik apalagi teknik, tapi lebih kepada mental. Kreativitas itu pun, bahkan pada tingkat saintis yang amat tinggi, yang dihadiahi Nobel, misalnya, konon bukan lagi persoalan kecerdasan, dana, atau di laboratorium mana ditemukan, tapi persoalan mental.

Akhirnya, tidak semua kita akan hidup sebagai orang kaya atau namanya dicatat dalam sejarah. Mungkin beberapa di antara kita nanti, hanya dikenang sebagai a company man. Seseorang yang dikenal sebagai pegawai berprestasi, berkarir dan berkedudukan bagus, yang setelah kita mati sakit-sakitan karena bekerja amat keras untuk perusahaan [hingga tidak pernah terpikir untuk belajar menuliskan puisi untuk orang-orang yang setia pada kita], meja kita segera dibersihkan untuk ditempati oleh a company man yang lain, yang sama berprestasi, berkarir dan berkedudukan bagusnya seperti kita. Padahal air mata orang-orang yang mencintai kita belum kering karena kesedihan.

Sekuat apapun kita ingin dikenal sebagai orang baik, sebanyak apapun popularitas yang kita harapkan, atau sebesar apapun kita menjadikan uang sebagai penawar bagi semua waktu, kreativitas, kecerdasan, dan kerja keras kita, kita harus mencari hal-hal yang lebih tinggi dari itu. Mencari, dan berusaha menemukannya seumur hidup kita, bila perlu dengan melata di muka bumi ini, sebelum Kehidupan dan Tuhan, dengan caraNya sendiri, meminta kita menukar apa yang sudah kita anggap sebagai upah kerja keras kita, dengan sesuatu yang sejati, tetapi belum pernah kita hargai sebelumnya.

Agar lebih mudah, ingatlah (Nash!) seorang Pemain Kartu yang Abdal, yang berhenti menjadikan uang, dan rasa hormat orang lain sebagai sumber kegairahannya, dan menggantinya dengan sebuah perjalanan pencarian akan hal-hal yang sakral dan tersembunyi dalam hidup ini.

Epilog: Sting dikenalkan padaku oleh seorang mahasiswa Teknik Industri ITB 1993. Anak-anak Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan di Bandung waktu itu, memanggilnya Roni Cina—wajahnya memang agak oriental, tapi bukan Cina. Belakangan aku dengar dia menjadi dosen di Universitas Diponegoro Semarang. Awalnya dia bilang, “Mau dengar lagu yang musiknya cuma Zippo dibuka tutup?”—itu lagu It’s Probably Me

“Shape My Heart” adalah lagu Sting pertama yang aku sukai. Mungkin hampir bersamaan dengan “It’s Probably Me”. SMH sangat sederhana dalam musik: bagian utama hanya diiringi gitar akustik dan ketukan sesuatu yang ritmis. Pada bridge dan sedikit diujung lagu, ada suara flute. [Tapi karena aku tidak ahli membeda-bedakan suara alat musik, jangan terlalu percaya sebelum mendengarnya sendiri]. Kesederhanaan musiknya membuat lagu ini terasa dalam. Aku membayangkan seseorang yang duduk di sebuah meja bundar di sudut sebuah rumah minum yang penuh dan riuh rendah. Yang aneh adalah setiap kali aku memandang ke arahnya, semua gerakan kasar di ruangan itu menjadi halus, semua teriakan menjadi perbincangan yang ramah, dan waktu terasa semakin subtil.

Aku masih mendengarkan lagu ini beberapa kali dalam seminggu, kira-kira 12 tahun setelah mendengarnya pertama kali. Sting adalah mantan frontman The Police. Konsisten dengan “Shape of My Heart”, Sting menganggap bahwa penilaian orang terhadapnya berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Dengan heran, dia mengakui bahwa lirik lagunya dipsikoanalisis secara amatiran, sementara kiritikus menganggap lagunya mengandung banyak metafor, semata karena dia pernah disebut sebagai King of Pain dalam musik. Mungkin karena itu juga, setelah selesai menyaksikan konser albumnya yang dianggap paling murung Soul Cages (sebelum Ten Summoner’s Tales), Eric Clapton menghampiri Sting dan mengatakan bahwa ia berharap Sting akan menangis di atas panggung. Sting menjawab dengan jenaka,”Untuk melihat itu, anda harus membayar lebih banyak”. Selebihnya di-googling saja.

Ini adalah teks Commancement Speech Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, disampaikan pada 12 Juni 2005 di Universitas Stanford

Saya merasa terhormat hari ini bisa bersama anda pada hari wisuda anda di salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah lulus dari perguruan tinggi. Sejujurnya, inilah jarak terdekat yang pernah saya dapatkan dengan wisuda perguruan tinggi. Hari ini saya ingin menceritakan pada anda tiga kisah dari hidup saya. Hanya itu. Bukan hal-hal besar. Hanya tiga kisah.

Yang pertama adalah tentang menghubungkan titik-titik.

Saya drop out dari Reed College setelah 6 bulan pertama, tetapi saya masih mengikuti kuliah yang tidak terdaftar selama sekitar 18 bulan berikutnya sebelum saya benar-benar keluar. Mengapa saya drop out?

Kejadian itu dimulai sebelum saya dilahirkan. Ibu biologis saya adalah seorang mahasiswa sarjana yang muda dan tidak menikah, dan dia memutuskan untuk menyerahkan saya untuk diadopsi. Dia sangat ingin agar saya diadopsi oleh lulusan perguruan tinggi, sehingga kemudian segala sesuatunya (tampaknya telah) disiapkan bagi saya untuk dapat diadopsi sejak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Kecuali bahwa ketika saya muncul mereka memutuskan di saat akhir bahwa yang mereka inginkan sebenarnya seorang anak perempuan. Jadi orang tua (adopsi) saya, yang sebelumnya sudah berada dalam daftar tunggu, mendapat telepon di tengah malam yang bertanya: “Kami memiliki seorang anak laki-laki yang tidak diharapkan, apakah anda menginginkannya?” Mereka mengatakan, “Tentu saja.” Ibu biologis saya kemudian megetahui bahwa ibu (adopsi) saya tidak pernah lulus dari perguruan tinggi dan ayah saya tidak pernah lulus dari SMA. Dia menolak menandatangani kertas-kertas akhir adopsi. Dia baru menyerah setelah beberapa bulan kemudian orang tua saya berjanji bahwa suatu hari nanti saya akan kuliah.

Dan 17 tahun kemudian saya memang kuliah. Tetapi dengan naifnya, saya memilih perguruan tinggi yang mahalnya hampir seperti Stanford, dan semua tabungan kelas-pekerja orang tua saya dihabiskan untuk uang pendaftaran perguruan tinggi. Setelah enam bulan, saya tidak mengerti apa yang saya ingin lakukan dalam hidup saya, dan juga tidak mengerti bagaimana perguruan tinggi akan membantu saya memahami hal itu. Dan di sinilah saya menghabiskan semua uang yang disimpan oleh orang tua saya seumur hidupnya. Demikianlah hingga saya memutuskan untuk keluar dan percaya bahwa semua akan berjalan OK. Kejadian ini cukup mengerikan waktu itu, tetapi bila melihat ke belakang, itu merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat. Sesaat setelah drop out, saya bisa berhenti mengambil kelas-kelas yang tidak menarik bagi saya, dan mulai mengambil kelas yang menarik.

Apa yang terjadi sama sekali tidak romantik. Saya tidak punya kamar kos, jadi saya tidur di lantai kamar teman saya, saya mengembalikan botol coke untuk mendapatkan 5 sen yang saya gunakan membeli makanan, dan saya berjalan 7 mil setiap Minggu malam untuk mendapatkan makanan yang enak di sebuah kuil Hare Krishna. Saya menyukai semua ini. Dan banyak hal yang saya temukan secara kebetulan karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi ternyata tidak ternilai harganya di belakang hari. Izinkan saya memberi anda satu contoh:

Waktu itu, Reed College menawarkan, mungkin instruksi kaligrafi terbaik di negara ini. Di seluruh bagian kampus semua poster, semua label di setiap laci, di tulis dengan kaligrafi tangan yang indah. Karena saya drop out dan tidak harus mengambil kelas normal, saya memutuskan untuk mengambil kelas kaligrafi untuk belajar bagaimana hal tersebut dibuat. Saya belajar tentang hurup serif dan sanserif, tentang variasi jumlah spasi di antara kombinasi hurup, tentang apa yang membuat tipografi yang indah itu indah. Semuanya itu indah, historik, artistik, dalam subtilitas yang tidak bisa ditangkap oleh sains, dan saya menganggapnya luar biasa.

Tidak ada satupun dari ini semua yang punya harapan akan digunakan secara praktis dalam hidup saya. Tetapi sepuluh tahun kemudian, ketika kami merancang komputer Macintosh pertama kali, semuanya kembali kepada saya. Dan kami merancang semua itu ke dalam Mac. Inilah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Seandainya saja saya tidak pernah mengambil mata kuliah tersebut (meskipun tidak terdaftar) di perguruan tinggi, Mac tidak akan pernah memiliki berbagai jenis hurup atau hurup-hurup yang spasinya proporsional. Dan karena Windows hanya mengkopi Mac, maka mungkin tidak akan ada komputer pribadi yang akan memilikinya. Bila saya tidak pernah drop out, maka saya tidak akan pernah drop in di kelas kaligrafi ini, dan komputer pribadi mungkin tidak akan pernah memiliki tipografi yang indah seperti sekarang. Tentu saja mustahil untuk menghubungkan titik-titik tersebut dengan melihat ke depan ketika saya dulu di perguruan tinggi. Tetapi semuanya sangat, sangat jelas ketika melihat ke belakang sepuluh tahun kemudian.

Sekali lagi, anda tidak dapat menghubungkan titik-titik dengan melihat ke depan; anda hanya dapat menghubungkannya dengan melihat ke belakang. Jadi anda harus percaya bahwa titik-titik tersebut akan tersambung di masa depan anda. Anda harus percaya pada sesuatu—nyali anda, nasib, hidup, karma, apapun. Pendekatan seperti ini tidak pernah mengecewakan saya, dan ia telah membuat perbedaan dalam hidup saya.

Kisah saya yang kedua adalah tentang cinta dan kehilangan

Saya beruntung—saya menemukan apa yang saya suka lakukan di awal hidup saya. Woz (Steve Wozniak) dan saya memulai Apple di garasi orang tua saya ketika saya berusia 20. Kami bekerja keras, dan dalam 10 tahun Apple telah tumbuh dari hanya dua orang kami di garasi menjadi perusahaan 2 Milyar USD dengan lebih dari 4000 karyawan. Waktu itu kami baru saja meluncurkan kreasi terbaik kami—Macintosh—setahun sebelumnya, dan saya baru saja 30 tahun. Kemudian saya dipecat. Bagaimana anda bisa dipecat dari perusahaan yang anda dirikan? Well, seiring tumbuhnya Apple kami merekrut seseorang yang kami pikir amat berbakat untuk menjalankan perusahaan bersama saya, dan untuk tahun pertama semuanya berjalan baik-baik saja. Tetapi kemudian visi kami tentang masa depan mulai terpecah dan kemudian kami berdebat. Ketika kami berdebat, Board of Directors memihak padanya. Jadi di usia 30 saya keluar. Dan secara publik sungguh-sungguh keluar. Apa yang menjadi fokus di sepanjang kehidupan dewasa saya hilang, dan hal ini menghancurkan.

Selama berbulan-bulan, saya sungguh-sungguh tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan generasi entrepreneur sebelumnya—bahwa saya telah menjatuhkan tongkat yang digilirkan pada saya. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan mencoba meminta maaf karena telah merusak semuanya sedemikian buruk. Saya adalah kegagalan publik yang sebenarnya, bahkan berpikir untuk lari dari Lembah (Silikon). Tetapi sesuatu perlahan terbit di diri saya—saya masih mencintai apa yang saya kerjakan. Apa yang terjadi di Apple tidak mengubah cinta itu sedikitpun. Saya sudah ditolak, tapi saya masih mencintai. Dan kemudian saya memutuskan untuk memulai kembali.

Saya tidak melihat ini waktu itu, tetapi kemudian tampak bahwa dipecat dari Apple adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada diri saya. Beban karena kesuksesan digantikan oleh kelegaan seorang pemula lagi, (karena) segala sesuatu tidak begitu pasti. Hal ini membebaskan saya untuk memasuki salah satu periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya memulai sebuah perusahaan bernama NeXT, sebuah perusahaan lain bernama Pixar, dan jatuh cinta pada seorang wanita luar biasa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar kemudian menciptakan film pertama di dunia yang dianimasi dengan komputer, Toy Story, dan sekarang menjadi studio animasi paling sukses di dunia. Dalam sebuah titik balik yang luar biasa, Apple membeli NeXT, saya kembali ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jiwa renaisans Apple saat ini. Dan Laurene dan saya memiliki keluarga yang bahagia.

Saya yakin tidak ada satupun dari hal ini yang akan terjadi seandainya saya tidak dipecat dari Apple. Pemecatan itu adalah obat yang pahit, tetapi saya pikir sang pasien membutuhkannya. Kadang-kadang hidup menghantamkan batu bata ke kepala anda. Don’t lose faith. Saya yakin bahwa satu-satunya hal yang membuat saya terus berjalan adalah karena saya mencintai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang anda cintai. Hal ini sama pentingnya dalam urusan pekerjaan maupun kekasih anda. Pekerjaan anda akan mengisi bagian besar dalam hidup anda, dan satu-satunya jalan untuk benar-benar terpuaskan adalah dengan melakukan apa yang anda percaya sebagai pekerjaan yang agung. Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan yang agung adalah dengan mencintai apa yang anda lakukan. Bila anda belum menemukannya saat ini, teruslah mencari. Don’t settle. Sebagaimana semua hal yang berkaitan dengan hati, anda akan tahu ketika anda menemukannya. Dan seperti hubungan agung manapun, ia akan menjadi semakin baik, dan semakin baik seiring dengan tahun-tahun berjalan. Jadi tetaplah mencari hingga anda menemukannya. Don’t settle.

Kisah ketiga saya adalah tentang kematian.

Ketika saya berusia 17, saya membaca sebuah kutipan yang kira-kira berbunyi: ”Bila anda menjalani setiap hari seolah-olah itu adalah hari terakhir anda, suatu hari anda akan sungguh-sungguh mengalaminya”. Kalimat itu mengesankan bagi saya, dan sejak itu, selama 33 tahun kemudian, saya melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya pada diri sendiri: “Bila hari ini adalah hari terakhir hidup saya, akankah saya melakukan apa yang saya lakukan hari ini?” Dan bila jawabannya adalah “Tidak” selama terlalu banyak hari berturut-turut, saya tahu bahwa saya harus merubah sesuatu.

Mengingat bahwa saya akan segera mati merupakan alat terpenting yang pernah saya temukan untuk membantu saya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup saya. Karena hampir semuanya—semua harapan orang lain, semua gengsi, semua rasa takut akan malu dan kegagalan—hal-hal ini akan runtuh di depan wajah kematian, yang tinggal hanyalah apa yang sungguh-sungguh penting. Mengingat bahwa anda akan mati adalah cara terbaik yang saya ketahui untuk menghindari jebakan bahwa anda memiliki sesuatu untuk dipertaruhkan. Anda sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti hati anda.

Setahun yang lalu saya didiagnosa kanker. Saya menjalani pemindaian pukul 7:30 pagi, dan hasilnya menunjukkan sebuah tumor di pankreas. Saya bahkan tidak tahu sebelumnya pankreas itu apa. Para dokter mengatakan pada saya bahwa hampir pasti ini adalah kanker yang tidak bisa disembuhkan, dan saya tidak memiliki harapan hidup lebih dari 3 sampai 6 bulan. Dokter saya menganjurkan saya pulang dan mengatur segala urusan saya, yang merupakan tanda dokter bagi persiapan kematian. Artinya, anda mencoba menceritakan semuanya yang akan anda katakan selama sepuluh tahun ke depan pada anak-anak anda hanya dalam beberapa bulan. Itu artinya memastikan bahwa semuanya sudah tertata rapi sehingga akan menjadi semudah-mudahnya bagi keluarga anda. Itu artinya mengatakan semua ucapan selamat tinggal anda.

Saya menghayati diagnosa itu sepanjang hari. Belakang di malam hari saya menjalani biopsi, mereka memasukkan endoskop ke tenggorokan saya, masuk ke perut dan ke usus, menusukkan sebuah jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor itu. Saya dibius, tetapi istri saya yang berada di sana, mengatakan pada saya bahwa ketika mereka melihat sel-sel tersebut dengan mikroskop, para dokter mulai menangis karena kemudian ternyata itu merupakan sejenis kanker pankreas amat jarang yang bisa disembuhkan dengan pembedahan. Saya dibedah dan saya baik-baik saja saat ini.

Ini adalah jarak terdekat saya berhadapan dengan kematin, dan saya berharap ini adalah yang terdekat yang saya alami hingga beberapa puluh tahun lagi. Karena telah melewati itu, sekarang saya dapat mengatakan pada anda hal berikut dengan keyakinan yang lebih besar dibanding ketika kematian bermanfaat (untuk dibicarakan) tetapi murni dalam konsep intelektual.

Tidak seorangpun ingin mati. Bahkan orang yang ingin ke surga pun tidak ingin mati untuk sampai ke sana. Tetapi begitupun, kematian adalah tujuan bersama semua kita. Tidak seorangpun pernah selamat darinya. Dan memang demikianlah sebaiknya, karena Kematian sangat mungkin adalah temuan terbaik dari Kehidupan. Ia adalah agen perubahan Kehidupan. Ia membersihkan yang lama untuk memberi jalan bagi yang baru. Saat ini yang baru adalah anda, tetapi pada suatu hari yang tidak terlalu lama dari sekarang, perlahan anda akan menjadi yang lama dan dibersihkan. Maaf karena (saya) begitu dramatis, tetapi itulah kebenaran.

Waktu anda terbatas, so don’t waste it living someone else’s life. Jangan terjebak pada dogma—yang berarti hidup dengan hasil pikiran orang lain. Jangan biarkan kebisingan pendapat orang lain menenggelamkan suara hati anda. Dan yang terpenting, milikilah keberanian untuk mengikuti hati dan intuisi anda. Keduanya, entah bagaimana, telah mengetahui menjadi siapa sesungguhnya yang anda inginkan. Yang lain-lain tidak begitu penting.

Ketika saya muda, ada sebuah publikasi yang luar biasa yang disebut The Whole Earth Catalog, yang menjadi salah satu kitab suci generasi saya. Publikasi itu dibuat oleh seorang pemuda bernama Stewart Brand yang tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya hidup dengan sentuhannya yang puitik. Ini terjadi di akhir 60an, sebelum era komputer pribadi dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin ketik, gunting, dan kamera polaroid. Ia semacam Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum Google muncul; ia idealis, dan dipenuhi catatan yang bagus dan tools yang rapi.

Stewart dan timnya menerbitkan beberapa edisi The Whole Earth Catalog, dan ketika telah habis waktunya, mereka menerbitkan edisi terakhir. Itu pertengahan 70an, dan saya seusia anda. Di sampul belakang edisi akhir mereka ada sebuah foto tentang awal pagi di sebuah jalan desa, jalan yang mungkin akan anda tempuh bila anda amat suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” Itulah pesan perpisahan mereka ketika mundur. Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh. Dan saya selalu mengharapkan hal itu pada diri saya. Dan sekarang, seiring dengan kelulusan anda untuk memulai sesuatu yang baru, saya mengharapkan hal itu juga pada anda.

Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh.

Terima Kasih.

Epilog: Saya membaca tentang Steve Jobs pertama kali beberapa tahun lalu karena profilnya hampir selalu menjadi studi kasus Kepemimpinan, terutama tentang Gaya Kepemimpinan, terutama di buku teks Perilaku Organisasi. Jobs, sebagaimana ditulis dalam sebuah buku memiliki gaya eksentrik, erratic, dan kadang keras kepala. Pemecatannya dari Apple menjadi pemicu mengapa dia di-studi kasus-kan. Jobs kehilangan jabatan, tapi rupanya whizkid Apple ikut keluar bersama Jobs. Kembalinya Jobs ke Apple menunjukkan bahwa ternyata studi-kasusnya yang diterbitkan kemarin belum selesai (senyum donk). Wikipedia menulis meskipun Jobs mendapat fasilitas jet pribadi, tetapi gajinya di Apple hanya US $ 1 pertahun. Anda tidak akan bisa menerima itu kecuali anda melakukan pekerjaan anda dengan cinta. Busana favorit [maksud saya, busana resmi Jobs, karena digunakannya di banyak even penting] adalah kaos, celana jeans, dan sepatu kets. Menjelang akhir 2005, TIME memasangnya di sampul dengan kalimat: The Man Who Always SEEMS to Know What’s Next… (“seems” saya kapitalkan sendiri, karena mana mungkin judul itu benar tanpa “seems” )

Pidato ini adalah salah satu pidato yang lembut sekaligus amat kuat bagi saya. Kehilangan dan Kematian bukanlah isu yang baru, tetapi ketika itu disampaikan di depan sebuah acara wisuda, bagi saya itu orisinal. Bukankah menceritakan isu ini mengotentifikasi wisuda sebagai kelahiran baru?

Pidato Jobs adalah suasana batinbagi kesuksesan produk-produk Apple. Semua yang diungkapkannya sederhana tetapi “state of the art”. Saya belajar banyak dari apa yang diceritakan Jobs tentang dirinya sendiri.

Dalam penerjemahan ini, semua yang berada dalam tanda kurung adalah tambahan saya, semata-mata untuk mengalirkan idenya. Saya mencoba sebaik mungkin merekam ulang ide Jobs ke bahasa Indonesia. Beberapa kata tidak saya terjemahkan karena menurut saya tidak ada yang bisa menggantikan apa yang dimaksud Jobs dengan kata pilihannya. Bila ingin membaca naskah aslinya, teks asli pidato ini dapat ditemukan di beberapa tempat. Di Google, ketikkan “Steve Jobs Speech”…dan JEBRETTTT, tinggal memilih. Saya mengambil ini dari Stanford News Service, 14 Juni 2005. Universitas Stanford.

Dalam salah satu seminar 2 harinya di Amerika Serikat, Idries Shah, seseorang yang perannya dalam memperkenalkan tradisi sufi di Barat dianggap sebanding dengan peran Dr. Daisetz Teitaro Suzuki memperkenalkan tradisi Zen dan Shinto, mengatakan, “Anda tahu bahwa saya sudah berbicara selama 4 jam. Selama itu saya belum pernah menggunakan kata “Allah” atau “Kasih”. Kami sebagai penganut sufi tidak pernah memakai kata-kata itu secara sembarangan. Kata-kata itu adalah suci”.

Anekdot ini mengingatkan aku pada sebuah cerita lain tentang Muhammad (cinta baginya). Suatu hari seorang pembunuh bayaran bernama Du’tsur yang sudah mengintai dan mengejarnya berhari-hari, berhasil menemukannya sendirian di sebuah tempat sepi sedang beristirahat di bawah pohon kurma. Du’tsur, sambil menghunus pedangnya, berkata,”Muhammad, sekarang siapa yang akan melindungimu dari pedangku?”. Muhammad, dicatat dalam sejarah Islam, hanya menjawab, “Allah”, seketika Du’tsur tak berdaya dan pedangnya jatuh. Ketika Muhammad kemudian mengajukan pertanyaan yang sama sambil menghunus pedang, Du’tsur terdiam seribu bahasa. Sejarah mencatat bahwa Du’tsur kemudian percaya bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan dan yang layak disebut Tuhan hanyalah Allah.

Kemudian kita tiba-tiba sering terlempar pada sebuah situasi di mana Tuhan diperbincangkan tidak lagi dengan menggetarkan. Tidak ada rasa takut ketika akan melakukan kejahatan. Tidak ada rasa syahdu ketika mengalami kesedihan. Tidak ada kerendahan hati ketika mengalami kebahagiaan. Jangan lagi ta’zhim. Kita melihat di televisi bagaimana nama Tuhan diteriakkan dengan pengeras suara oleh sekelompok orang yang menggugat jumlah suara yang mereka dapatkan, menerobos barikade keamanan, merusak dan membakar barang-barang yang bukan miliknya. Ketika Irawady Joenes, anggota Komisi Yudisial nonaktif, divonis 8 tahun penjara dan denda 200 juta karena korupsi, istrinya yang berbusana muslim dan berkerudung, berteriak “Allahu Akbar” sebagai bentuk dukungan pada suaminya, dan kemarahan pada hakim (Forum Keadilan, 24 Maret 2008). Dalam situasi lain yang tidak begitu emosional, kita melihat orang-orang yang sehari-hari sama sekali tidak peduli pada nama Tuhan, rumah Tuhan, kemudian berdebat tentang mana hak Tuhan dan mana hak manusia. Tidakkah aneh menurut anda, orang-orang yang sepanjang hidupnya menolak mengakui spiritualitas, apalagi melibatkan Tuhan dalam keputusan-keputusan yang mereka ambil, kemudian berbicara atas nama Tuhan? Tidakkah menurut anda, orang-orang yang mengafirmasi “hanya Tuhan yang berhak begini dan begitu” juga berbicara atas nama Tuhan? Sama saja dengan orang-orang yang mereka hujat karena mengatakan “Ini dan itu dilarang Tuhan”.

Bagiku–yang tidak terlalu tertarik pada perdebatan mana hak Tuhan dan mana yang bukan, dibanding dengan mengamati bagaimana manusia menghubungkan dirinya dengan Tuhan— bagaimana kita “memperlakukan” Tuhan menunjukkan siapa sesungguhnya kita secara spiritual. Sebuah gambaran tentang identitas spiritualitas pribadi yang berada dalam garis kontinum. Tradisi agama-agama besar memiliki nama bagi posisi-posisi individu dalam garis kontinum ini, dan bukan hanya itu, mereka juga memberikan jalan yang dapat ditempuh untuk memperkuat identitas spiritual itu. Kalau kita mengambil rujukan dari salah satu agama Langit, Kaum Sufi, dari tradisi Islam, menyebutnya “maqam”.

Aku ingin menceritakan sebuah versi garis kontinum bagaimana orang memperlakukan institutionalized religion. Untuk menyederhanakan defenisinya, semua agama besar yang ada di dunia ini adalah institutionalized religion. Beberapa orang dengan alasan tertentu menyebutkan Buddha dan Hindu bukanlah sebuah agama, tetapi dengan konsep teologi yang terstruktur jelas, ritual, dan sebagainya, sangat sulit mengeluarkan Buddha dan Hinduisme dari kelompok ini. M. Scott Peck MD, seorang psikiater Amerika, dalam bukunya “Further Along The Road Less Traveled”, menuliskan 4 tahap sikap orang terhadap agama.

EMPAT TAHAP PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN
Penyusunan tahap-tahap perkembangan manusia diawali oleh filsafat, dan kemudian dilanjutkan lebih saintifik oleh Psikologi. Psikologi mempelajari dua isu penting dari manusia, yang demikian pentingnya hingga bagi banyak pihak dua hal itu dapat dianggap sebagai inti dari Psikologi, yaitu: Bagaimana manusia berbeda atau justru sama satu dengan lain (Psikologi Kepribadian) dan Bagaimana manusia tumbuh menjadi lebih matang atau justru mengalami fiksasi dan regresi (Psikologi Perkembangan). Orang-orang sakit jiwa, dalam perspektif psikologi, mengalami masalah dalam kepribadiannya, yang berhubungan dengan kegagalan pada tahap perkembangannya. Dalam detilnya, Psikologi memiliki beberapa teori spesifik tentang “bagaimana emosi manusia berkembang”, “bagaimana cara berpikir manusia berkembang” dan ” dan bagaimana moralitas manusia berkembang”. Peck mengatakan sebagian analisisnya merujuk pada teori-teori itu, tetapi bagian terbesarnya merujuk pada pengalamannya menangani pasien-pasien dalam praktek psikoterapinya.

Tahap Pertama adalah “Kekacauan dan Anti Sosial”…Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kehidupan rohani, bahkan tidak percaya pada nilai-nilai moral. Pada bentuk mentahnya, orang-orang ini sering menimbulkan masalah di manapun dia berada. Mereka adalah orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap apapun di dunia ini. Mereka melakukan kejahatan di rumah, di sekolah, bahkan ketika mereka mengatakan ingin berbuat baik. Dalam bentuk yang lebih canggih, orang-orang ini mungkin dapat tampak seperti seorang spiritualis atau religius, tetapi sebetulnya menyimpan motif keuntungan pribadi. Dalam Psikologi Kepribadian dikenal Tipe Kepribadian Anti Sosial yang memiliki ciri umum menganggap hidup ini sebagai “to kill or to be killed”, menganggap bahwa semua orang harus melayaninya, dan yang paling penting: tidak pernah merasa bersalah. Tetapi tentu saja hampir tidak ada orang anti sosial mutlak. Tetapi dari derivasinya saja, merekalah yang menggunakan agama untuk mencari kekuasaan, bukan demi kebaikan ummat manusia. Mereka menggunakan agama sebagai fesyen dan kosmetik. Mereka, akan membicarakan Tuhan, sambil melecehkan manusia. Amat sulit menghadapi orang-orang antisosial yang canggih seperti ini, terutama karena kadang-kadang mereka memiliki kedudukan (selebriti, politisi, tokoh agama, bahkan seorang admin) atau sumber daya (uang, teknologi, dan pengetahuan). Yang bisa “menyelamatkan” orang-orang pada tahap ini hanyalah “mukjizat”. Sering mereka “dihancurkan” oleh sebuah peristiwa terlebih dahulu barulah kemudian tercerahkan. Beberapa orang yang “dikenal” sukses, misalnya, tercerahkan setelah anaknya terlibat narkoba atau sesudah masuk penjara karena korupsi. Ketika mereka tercerahkan seperti ini, yang mereka katakan adalah, “Aku bersedia melakukan apa saja untuk membebaskan diri dari penderitaan ini–apa saja. Bahkan bila harus menyerahkan diri kepada sesuatu agar aku dapat dikendalikan dan disembuhkan”. Dengan inilah mereka kemudian beralih ke Tahap Kedua.

Tahap Kedua adalah “Formal dan Institusional”…Mereka adalah orang-orang yang mengandalkan sesuatu yang formal dan institusional untuk mengendalikan diri, merasa aman, bahkan untuk merasa berharga. Mereka membutuhkan aturan yang jelas, bukan untuk mengembangkan dirinya, tetapi untuk bisa menenangkan jiwa mereka yang resah dan liar. Beberapa orang menganggap penjara merupakan tempat untuk mengendalikan diri. Di penjara mereka akan “berkelakuan baik” dan segera mendapatkan pengurangan hukuman atau pembebasan bersyarat, tetapi ketika kembali ke masyarakat, mereka mengulangi kejahatan yang sama, untuk dimasukkan kembali ke institusi yang membuat mereka dapat “berkelakuan baik”. Beberapa yang lain menganggap kemiliteran sebagai pengatur hidupnya. Konon, di akademi militer, cara melipat tisu bekaspun harus seragam, suapan pertama makan siang didahului sempritan. Tanpa harus menjadi militer pun, orang-orang seperti ini akan menganggap diperintah atasan jauh lebih menyenangkan daripada memerintah diri sendiri. Beberapa yang lain menganggap perusahaan tempatnya bekerja adalah penenang batinnya. Semakin besar dan terkenal perusahaan itu, semakin baik bagi jiwanya. Beberapa orang juga menjadikan pernikahan berkali-kali untuk mendapatkan ini.

Tetapi yang terbanyak diperlakuan sebagai ini adalah agama. Mereka adalah orang-orang yang sangat formal dalam menjalankan agama. Pada bentuknya yang kasar, orang-orang ini melakukan kebaikan karena agama memerintahkannya. Mereka berangkat haji setiap tahun, karena Islam memerintahkannya. Tetapi di luar Makkah, mereka masih tetap menganggap manusia itu berkasta-kasta. Mereka menyembelih qurban karena Ibrahim (salam baginnya) dan Muhammad (rindu untuknya) melakukannya ribuan tahun yang lalu, tetapi setelah darah yang tercecer dibersihkan, mereka tetap terjebak pada perasaan memiliki yang neurotik terhadap segala sesuatu. Mereka merayakan malam Natal karena Yesus dilahirkan waktu itu, tetapi bahkan baru di malam Tahun Baru saja, mereka berpesta dan sudah melupakan orang-orang yang memikul salib di via dolorosa-nya sendiri. Dalam bentuk canggihnya, orang-orang ini adalah yang sedemikian formalnya hingga tidak bisa menerima perbedaan. Sedemikian formalnya bahkan mereka hanya mempercayai kata-kata pemimpin kelompoknya. Hanya mempercayai prosedur yang sudah mereka jalankan atau yang diajarkan kepada mereka selama bertahun-tahun. Di dalam Psikologi Kelompok, dikenal istilah groupthink. Semacam kecenderungan untuk menjaga keutuhan kelompok dengan sesuatu yang formalistik, menolak informasi dari luar, merancang sistem atau menempatkan seseorang sebagai watchdog, dan menganggap keputusan kelompok adalah segala-galanya. Selain kebohongan, inilah yang mengawali serbuan Bush ke Irak 2002. Inilah yang menghancurkan sistem kepemimpinan di Indonesia era Orde Baru. Tapi ini pula yang terjadi ketika orang-orang beragama mengkultuskan tokoh-tokohnya. Ini juga yang kemudian melahirkan sekte pada agama-agama besar dunia. Hampir semua orang pada tahap ini pada awalnya akan menikmati formalisme ini, dan mungkin akan membelanya. Tetapi beberapa orang dari kelompok ini kemudian akan merasa adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein, “apa yang seharusnya” dengan “apa yang terjadi”. Kelompok kecil ini kemudian membaca sumber sejarah alternatif, unofficial biographies, pamflet, berita-berita buruk tentang kelompoknya sendiri, atau kelompok yang kata orang tua mereka harus mereka ikuti. Setelah itu, hasilnya adalah krisis spiritual. Dengan krisis inilah mereka memasuki Tahap Ketiga

Tahap Ketiga adalah “Skeptis dan Individual”… Mereka adalah orang-orang yang lari dari masjid, gereja, kuil, dan sebagainya karena kecewa pada institutionalized religion ini. Mereka menolak shalat, misa, puasa, pembaptisan, karena mereka menganggap itu bagian dari penyebab kekerasan dan keterpecahan manusia. Beberapa orang bahkan mengembangkan semacam fobia terhadap simbol-simbol agama: jilbab, rosario, minaret, salib, bulan sabit, bintang Daud. Beberapa di antara mereka bahkan kecewa pada Tuhan-sebagai-sebuah-pribadi, bukan hanya sebagai bagian agama, untuk kemudian menjadi atheis. Orang-orang yang agnostik dan atheis ini berbeda dari orang-orang Tahap Pertama karena mereka bukan orang yang anti sosial. Mereka mungkin akan menjadi relawan dan anggota organisasi Wartawan/Dokter Tanpa Batas, Green Peace, Save the Children, Transparency International, atau Duta bagi PBB. Mereka bisa saja adalah orang tua yang penuh cinta dan memikirkan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya. Kekecewaan merekalah yang membuat mereka skeptis pada Agama dan Tuhan. Mereka akan mendiskusikan agama seperti mendiskusikan puisi atau lukisan, atau film horor yang bagus. Mereka mungkin mengatakan bahwa mereka dapat bertemu Tuhan di kafe atau butik di hari Jum’at atau Minggu ketika pada jam yang sama orang lain mencari Tuhan di Masjid atau Gereja. Karena mereka menyikapi agama seperti seorang ilmuwan yang menghadapi katak di meja laboratorium, pada dasarnya mereka adalah pencari kebenaran. Mereka adalah pengamat yang teliti dan mencintai ilmu pengetahuan. Seandainya mereka setia terus mencari kebenaran, maka sebagai ilmuwan, mereka bukan hanya akan menemukan keindahan dalam gejala-gejala sains, atau apapun yang sedang mereka diskusikan, tetapi juga sebuah pola yang aneh, yang too good to be true untuk hanya dianggap sebagai kebetulan. Mereka akan melihat, apa yang dilihat orang Tingkat Kedua, tetapi dengan cara yang lain. Ketika orang Tingkat Kedua melihat aturan dan formalisme, maka orang Tingkat Ketiga yang setia mencari ini, akan melihat divine creativity dan mistik. Kalau mereka berada dalam posisi ini, mereka memasuki Tingkat Keempat. Ibrahim, Bapak semua Agama Langit, adalah contoh murni dari Orang Skeptis yang terus mencari. Pertama, dia menolak formalisme Agama Pagan ayahnya dan masyarakatnya. Kemudian dia mengamati alam dan mencari. Mengalami frustrasi, kemudian tercerahkan. Muhammad juga seorang skeptis terhadap paganisme dan masyarakatnya, kemudian merenung di Hira, dan tercerahkan. Bahkan Bunda Theresa pun, adalah seorang biarawati yang skeptis sebelum menemukan jalannya di Kalkuta. Gandhi adalah seorang hindu taat yang skeptis di Afrika Selatan, sebelum akhirnya tercerahkan dalam perjalanannya di India. Orang-orang Suci pada dasarnya adalah orang-orang Skeptis yang terus mencari. Yang menjadi pola umum sebelum mereka tercerahkan adalah kemampuan mereka menjaga kesucian hidup dan kesediaan mereka mengorbankan banyak hal untuk mencari jawaban Yang Sebenarnya.

Tingkat Keempat adalah “Mistik dan Komunal”… Mereka adalah orang-orang yang melihat bahwa pada dasarnya semua yang ada di langit terhubung dengan yang ada di bumi. Semua yang mati terhubung dengan yang hidup. Mereka melihat pola, bukan hanya rumusan. Orang pada tahap ini adalah orang-orang percaya bahwa hidup ini adalah misteri. Dengan itulah mereka bisa merasakan kerendahan hati, ketidaksempurnaan, dan interdependensi. Orang-orang pada tahap mistik tidak takut bila dirinya tidak dikenal, pencariannya tidak berhenti, pertanyaannya tidak terjawab, atau doa-doanya tidak dikabulkan. Dalam dunia sufi dikenal adanya para abdal, sufi-sufi penyamar. Idries Shah, yang menganggap cara terbaik memperkenalkan cara berpikir kaum Sufi adalah dengan cerita, menggambarkan Nasaruddin Hoja sebagai “the Mulla who is no Mulla, the fool who is no fool”. Mereka menyadari bahwa Tuhan memiliki tujuan untuk menciptakan sesuatu, dan karena menyadari keterbatasan pandangan mereka, mereka tidak mudah menghujat. Hanya merekalah yang bisa memahami apa artinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ketika “how to simplify your life” menjadi sebuah pelatihan yang laris di Barat, orang pada tahap Mistik sudah menjalani hidupnya tanpa banyak attachment, forward, cc, bcc, bahkan link. John Bennet, seorang sahabat sekaligus murid Idries Shah, ketika ditanya apa yang didapatkannya selama berdekatan dengan Idries Shah, menjawab: “Freedom!”. (…) Not only had I gained freedom, but I had come to love people whom I could not understand.”

SIAPA MENGANCAM SIAPA DAN APA YANG BERBAHAYA DALAM TAHAP-TAHAP INI?
Tiga tahap pertama adalah orang-orang yang menyimpan perasaan terancam. Secara umum, orang-orang yang baru naik ke tingkat yang lebih tinggi merasa terancam oleh orang-orang setingkat dibawahnya karena masih belum yakin dengan tahap spiritualnya saat ini.

Orang-orang Anti Sosial mungkin tampak masa bodoh pada apapun, tetapi bila kepalsuan itu berhasil diterobos, akan tampak bahwa mereka adalah orang yang takut pada segala sesuatu. Orang-orang Anti Sosial memiliki harga diri yang amat rapuh. Yang demikian mudah terguncang ketika keinginannya tidak terpenuhi. Peck mengatakan bahwa kasus-kasus bunuh diri yang tidak terungkap di media massa umumnya dilakukan oleh Orang Anti Sosial. Psikologi Klinis mengatakan bahwa orang-orang yang bunuh diri adalah yang yang kecewa dan/atau marah pada dunia ini, atau Tuhan. Abdur Rahman Assudais, Imam Masjid Haram, dalam rekaman murattal Qur’annya, menangis terisak-isak hingga terputus membaca ketika sampai pada ayat yang mengatakan, “Katakanlah kepada hamba-hambaku yang telah menyia-nyiakan hidupnya, janganlah berputus harapan kepada kasih sayang Allah. Karena Allah mengampuni semua dosa. Allah sangat mengampuni dan menyayangi…”.. Dalam ribuan ayat yang dibaca AsSudais, sangat sedikit terekam beliau menangis demikian terbuka. Ayat ini terdapat pada Az-Zumar, sebuah surat yang banyak merekam bagaimana manifestasi krisis spiritual manusia dan perbantahan mereka dengan Tuhan. Amat mudah mendidik anak menjadi seorang yang anti sosial [dan kemudian menjadi psikopat): ejeklah dia terus menerus, ajarkan dia konsep “upah terbesar” bukan “kebaikan terbesar”, jangan memberinya contoh cinta tulus, dan putuskan harapannya kepada Sesuatu Yang Maha Tinggi.

Orang-orang Formal tidak takut pada Orang Anti Sosial. Mereka justru menganggap orang-orang ini sebagai pendosa yang layak dikasihani dan dicintai. Yang menakutkan Orang Formal adalah Orang Skeptis yang menggugat kepercayaan dan ritual mereka, dan terutama Orang Mistik, yang mempercayai hal yang sama dengan mereka tetapi dengan kebebasan yang menakutkan. Orang Formal-lah yang membutuhkan seragam militer untuk organisasi keagamaannya, membutuhkan seragam tertentu untuk ke tempat ibadah, shaf tertentu di masjid dan bangku tertentu di gereja. Muhammad (seberapakah jauh jarakku darinya?) tercatat pernah melarang seorang muslim memilih satu tempat tertentu secara terus-menerus di dalam masjid, supaya mereka tidak menjadi sombong. Orang Formal akan sulit menerima Orang Mistik yang beribadah tapi dengan penampilan yang berbeda, yang menolak seragam seperti yang mereka kenakan.

Orang Skeptis tidak terancam oleh Orang Anti Sosial yang mereka anggap penyakit masyarakat. Juga tidak oleh Orang Formal yang mereka anggap bodoh dan jumud yang tidak membaca sejarah, buku-buku yang dilarang, atau terobosan ilmu pengetahuan. Tetapi mereka merasa terancam oleh Orang Mistik yang mencintai pengetahuan, membaca sejarah, bisa berbicara dengan orang-orang yang berbeda, yang beragumentasi dengan tertib dan sistematis, tetapi masih tetap percaya pada akhirat, neraka, surga, dan Pengadilan Terakhir. Beberapa waktu yang lalu, Majalah TIME mempertemukan dua orang ilmuwan ternama untuk berdiskusi mengenai ide tentang Tuhan dalam sains. Ilmuwan yang atheis, sesudah beberapa saat, secara terbuka meragukan kredibilitas keilmuan ilmuwan theis yang masih mempercayai Tuhan dan beribadah, padahal orang yang diragukannya adalah ilmuwan yang melakukan pemetaan genom manusia.

Yang paling “berbahaya” dari tingkat-tingkat ini adalah betapa terampilnya manusia memilih topengnya. Kita mungkin akan menemukan seorang Penjahat Anti Sosial yang mengajak anda berdebat tentang kebenaran seperti seorang Ilmuwan Skeptis atau menegaskan cinta kemanusiaan seperti seorang Mistik. Atau Orang Skeptis yang menolak beribadah tetapi juga menolak segala argumentasi yang tidak empiris-positivistik, yang berarti ia sebetulnya memeluk sains sebagai “agama formal”nya. Atau seorang yang hanya menjadi Mistik ketika di pengajian atau misa tetapi menjadi Skeptis di pekerjaannya, dan menjadi Anti Sosial terhadap istrinya. Atau mungkin kita menemukan Orang Formal yang rajin datang ke tempat ibadah tetapi sebetulnya skeptis pada agamanya. Sangat banyak, terlalu banyak, contoh bagaimana orang dengan semaunya memeluk agama tetapi menolak untuk dipeluk agama. [Aku bersyukur, Indonesia yang disebut negara beragama ini memberikan obyek pengamatan yang amat kaya tentang variasi ini.]

Karena demikian rumitnya skema kerohanian maka harus diakui bahwa kita tidak bisa yakin apakah kesimpulan-dari-luar kita tentang tingkat kerohanian seseorang sungguh-sungguh pasti. Spiritualitas itu berkaitan dengan hubungan diri kita yang terdalam dengan sesuatu Yang Tertinggi. Hanya kita yang tahu, dan kesediaan untuk jujur amat membantu.

PERIKSALAH PENJARA ANDA
Bagiku, sebelum berbicara tentang Ketuhanan: mana hak Tuhan mana hak Manusia dan siapa yang sesat dan tidak sesat. Sebelum membela satu golongan dan menghujat golongan yang lain atas nama demokrasi, hak asasi manusia, atau penistaan agama…tidakkah sebaiknya setiap orang memeriksa terlebih dahulu tingkat kerohaniannya masing-masing?

Carl Gustav Jung, psikolog awal yang dianggap paling sungguh-sungguh mengakomodasi spiritualitas dalam teorinya mengatakan bahwa setiap orang memiliki shadow. Sebuah bayangan hitam di belakang benda terang benderang yang kita tunjukkan di depan publik. Bayangan hitam itu adalah narapidana yang masing-masing kita memenjarakannya dan tidak mengizinkannya untuk tumbuh menjadi lebih matang. Sebelum bicara tentang apa yang murni dan apa yang kotor, baiklah kiranya bila setiap kita melakukan pengakuan dosa terlebih dahulu. Seperti Yesus yang menantang orang-orang yang melempari seorang pelacur, Maria Magdalena, untuk menunjukkan siapa yang dirinya murni. Yesus, menurutku, bukan ingin menafikan dosa sang pelacur, dia hanya ingin agar setiap orang rendah hati. Katakan dan tegakkanlah kebenaran, tapi tetaplah tulus dan rendah hati.

Kalaupun akhirnya kita harus terlibat dalam perdebatan tentang hal-hal seperti itu, sebelum menyatakan apapun, marilah kita periksa apa yang kira-kira akan dilakukan oleh orang-orang suci dalam agama kita masing-masing.[Aku tidak tahu siapa yang dapat diperiksa oleh Orang Skeptis, karena mungkin selain tidak percaya pada agama terlembaga, mereka juga tidak percaya pada orang-orang suci sebuah agama. Atau mungkin mereka dapat memeriksa Konfusius, Marcus Aurelius, atau Aristoteles]. Periksalah apa yang dilakukan Buddha, Yesus, dan Muhammad, seandainya mereka berada dalam posisi dan situasi saat ini. Kemudian kalau ternyata kita masih terlalu bodoh untuk membayangkan tindakan, pernyataan, dan sikap mereka, menurutku, sebaiknya kita tidak usah mengatakan apapun. Supaya kita tidak merusak warisan kebaikan dan jalan hidup menuju Tuhan yang sudah mereka tinggalkan. Katakan saja, “Aku bodoh.”

Epilog:

Agar terdapat pemahaman yang lebih pribadi, aku mendorong untuk membaca langsung: M. Scott Peck M.D, “Perjalanan Rohani Tanpa Akhir”, Prenhallindo, 2001. Buku ini sulit sekali dicari, mungkin out-of-print. Kalau memiliki kesempatan, lebih baik membaca buku aslinya, “Further Along The Road Less Traveled”, Simon and Schuster, 1993. Buku ini merupakan kelanjutan dari “The Road Less Traveled” oleh penulis yang sama. Terjemahan buku pertama ini lebih sulit lagi dicari, mungkin lebih out-of-print. Bila di Jakarta, mungkin harus menggeledah Jl. Kwitang atau Pasar Senen (hati-hati!). Di Bandung di salah satu sudut Pasar Palasari. Di Jogja ke Pasar Apollo. Di Surabaya Jl. Semarang (kalau belum digusur). Di Malang ke Pasar Wilis. Semuanya adalah pusat buku baru yang dibajak, buku lama yang dari dulu tidak laku, atau buku bagus dekil yang membosankan pemilik sebelumnya. Selain itu, ada beberapa sumber yang berisi pemikiran Idries Shah. Sebagai pengantarnya dapat dilihat di wikipedia.

Tuhan buatkan bagi hamba seorang putra yang cukup kuat untuk menyadari kalau ia sedang lemah, dan cukup tabah untuk menghadapi dirinya sendiri kalau ia sedang takut. Putra yang bangga dan tidak putus asa kalau kalah secara jujur, dan rendah hati serta lembut dalam kemenangan.

Berikanlah bagi hamba seorang putra yang bukan cuma bisa berharap, tetapi juga mampu berbuat. Seorang putra yang mengenal Engkau. Jangan bawakan ia ke jalan yang serba mudah dan serba enak, tetapi biarlah ia belajar berdiri di tengah badai dan biarlah ia merasakan penderitaan orang-orang yang gagal.

Buatkanlah bagi hamba seorang putra yang hatinya jernih, yang cita-citanya tinggi. Putra yang dapat mengendalikan dirinya sendiri sebelum mencoba mengendalikan orang lain. Yang meraih masa depan tetapi tidak melupakan masa lalu.

Dan kalau semua itu sudah menjadi miliknya, hamba mohon agar dia diberi rasa humor. Berilah juga dia kerendahan hati, supaya ia selalu ingat kesederhanaan dari keagungan sejati, keterbukaan dan kebijaksanaan sejati, dan kelemahan dari kekuatan sejati.

Epilog: Ini adalah salah satu do’a terbaik yang pernah aku ketahui dan dengar. Aku mencoba mencari otentifikasi benarkah ini memang dinyatakan oleh Douglas Mac Arthur. Tapi sampai sekarang belum kutemukan. Bahkan mencari naskah asli Inggrisnya pun belum selesai. Naskah ini dihadiahkan padaku oleh seorang teman, Sri Prafanti, namanya, tgl 7 Maret 1989. Aku mendengar dia menyelesaikan kuliahnya di Politeknik Universitas Sumatera Utara. Tapi kabar lain tidak lagi kuketahui. Selain versi ini, aku pernah menemukan versi lain, tapi kupikir, inilah yang terbaik.

Aku mengenal nama GM pertama kali dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika berbicara tentang sastrawan Angkatan 66. Tapi tidak seperti Taufik Ismail, yang karya-karyanya begitu populer dan ada di perpustakaan, aku tidak pernah menemukan karya GM. Belakangan aku baru membaca Smaradhana atau Seks Sastra dan Kita, justru di akhir 90-an, padahal konon buku itu sudah pernah terbit hampir 30 tahun yang lalu.

Aku baru mengenal pikiran-pikiran GM lewat kolom Catatan Pinggir-nya di Majalah TEMPO. Bapak yang rajin membeli majalah-majalah bekas, karena tidak cukup uang untuk membeli majalah baru, memiliki sebuah bundel Majalah TEMPO tahun 1979. Inilah yang paling aku suka, karena banyak dan tebal sampulnya. Di sana, aku ingat ada laporan tentang Sengon dan Karta yang kehilangan kebebasannya selama bertahun-tahun karena kasus Peradilan Sesat. Kupikir semua penegak hukum di Indonesia pasti mengenal “Kasus Sengon dan Karta”. Dua orang desa yang dipenjarakan pengadilan karena “terbukti” melakukan pembunuhan. Seingatku, hampir dua belas tahun dipenjara, barulah mereka dibebaskan setelah pembunuh yang sebenarnya tertangkap. Di situ ada juga kasus Budiaji, sebagian berita mengatakan inilah koruptor pertama yang dipenjarakan di Indonesia. Biasanya semuanya aku baca. Sampai Surat-Surat Pembaca-nya, meskipun sebenarnya aku tidak paham. Termasuklah yang tidak kupahami itu kolom Catatan Pinggir. Aku pikir ini masa-masa aku beranjak meninggalkan ibtidaiyah (sekolah dasar) menuju awal tsanawiyah (sekolah menengah pertama).

Aku mulai dipengaruhi GM ketika menjelang Aliyah (sekolah menengah atas), aku mulai intensif ke Perpustakaan Wilayah Sumatera Utara di Medan. Jarak perpustakaan ini dari rumahku kira-kira 10-15 kilometer, mungkin lebih karena rumahku terletak di Kecamatan Medan Timur, sementara perpustakaan ada di daerah Barat. Biasanya aku ke sana dengan bersepeda. Di situ ada lebih banyak lagi bundel TEMPO yang bisa aku baca. Salah satu favoritku adalah Catatan Pinggir. Waktu buku-buku kumpulan Catatan Pinggir (I-III) di terbitkan, dengan senyum bangga pada diri sendiri, aku sering berbicara dalam hati, “Hm, aku sudah membaca tulisan ini dan itu dan itu, ketika dicetak untuk pertama kalinya”. Di masa-masa inilah aku mencoba membaca TEMPO lebih disiplin. Setiap akhir minggu, aku akan datang ke salah satu trotoar Jl. Sutomo Medan untuk membeli TEMPO edisi retuur, yaitu TEMPO edisi minggu lalu yang tidak laku kemudian sampul depannya dipotong untuk dikirimkan kembali ke Agennya.

Catatan Pinggir GM secara kognitif memperkenalkanku pada banyak hal baik dan bagus di dunia sebelah sana. Dunia yang mungkin tidak akan pernah kukenal kalau tidak membaca tulisannya atau bila aku hanya bergelut dengan wacana kemadrasahanku. GM mengenalkan padaku Samuel Becket, penulis drama, yang judul drama surrealisnya Waiting for Godot, kemudian menjadi kata-kata yang dianggap paling mewakili gambaran psikologis orang-orang yang menunggu sesuatu yang tidak pernah jelas “whom” dan “when“-nya. GM juga mengenalkanku pada Umberto Eco, semiotikus yang dianggap paling otoritatif, ketika menceritakan novel sejarah-detektifnya, The Name of the Rose. GM sebetulnya tidak menceritakan novel itu, dia hanya menceritakan perjalanan psikologis tokoh Adso, seorang pemuda Benediktin yang dititipkan ayahnya pada seorang Fransiskan yang meneliti pembunuhan-pembunuhan di sebuah biara. Novel ini kemudian difilmkan. Sang Fransiskan diperankan oleh Sean Connery sedangkan Adso oleh Christian Slater. Selain GM, film ini juga diresensi di edisi lain TEMPO, yang di antaranya menggambarkan betapa menyeramkannya biara tersebut karena ketika kedua protagonis itu datang, pintu gerbang dibuka oleh biarawan yang berwajah seperti hantu. GM sendiri memberikan pengantar yang menggugah ketika menulis tentang novel ini, kira-kira katanya, “Pernahkah Yesus tersenyum?”. Novel ini adalah usaha mencari jawaban pertanyaan itu. Resensi film ini menarik, tetapi bagaimana GM mengutip dan memberi perspektif terhadap “The Name of the Rose”-lah yang membuatku menerobos jam malam di rumah dan menyaksikan film ini di sebuah bioskop Taman Hiburan Rakyat pada midnight show-nya. Sepi sekali di bioskop malam itu. Pada kesempatan lain, GM memperkenalkanku pada Milan Kundera, ketika menulis tentang imagologi, yaitu ketika bungkus lebih penting dari pada isi. Pada kesempatan lain, GM memperkenalkanku pada sebuah pepatah Italia tentang penguasa yang kehilangan kredibilitas, “Ketika Raja lewat, petani menunduk, tetapi kentut diam-diam”. Tetapi yang terpenting mungkin, dalam banyak tulisannya, GM mengajarkanku bahwa yang terpenting adalah bertanya, bukan menjawab. Catatan Pinggir, kalau boleh diringkas adalah Kecerdasan yang ditunjukkan dalam kedalaman wawasan dan analisa, dan Kebijaksanaan yang ditunjukkan dalam pertanyaan-pertanyaan dan refleksi diri. Aku merasakan betul bahwa GM bukan mengutip saja atau mencari ilustrasi, tapi memang memikirkan apa yang dibacanya, baru kemudian menuliskannya kembali. Konon, Catatan Pinggir dihubungkan dengan marginalia, coretan-coretan yang ditambahkan pemilik/pembaca di margin halaman sebuah buku. Catatan-catatan itu biasanya menyiratkan pertanyaan, komentar, bahkan sentimen penulisnya terhadap bagian tertentu dari naskah dari halaman tersebut, tetapi tidak pernah ditujukan untuk “mengalahkan” bukunya. Cukup sekedar sebagai catatan pinggir, marginalia.

Waktu remaja itu, setiap kali membaca Catatan Pinggir, aku membayangkan bagaimana GM membaca demikian banyak karya terbaik manusia dari berbagai zaman dan latar budaya. GM itu kan berasal dari Batang, kota kecil di Jawa Tengah, dan tidak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Indonesia. Pertanyaanku yang amat naif adalah, “Bagaimana bisa dia mendapatkan buku dan manuskrip sedemikian banyaknya? Bagaimana dia bisa memilih dan mendapatkan sebuah buku, ide, adegan kebudayaan, dan sebagainya, yang kemudian dianggapnya layak untuk dituliskan di Catatan Pinggir?”… Sebagai remaja, aku membandingkan apa yang dimiliki GM dengan apa yang aku miliki. Bapakku sangat suka pada buku. Tapi dari seribuan buku yang ada di rumah (waktu aku remaja itu), seingatku tidak ada satupun buku berbahasa Inggris. Bahkan kamus Inggris-Indonesia John Echols yang bisa dianggap pantas itu pun tidak ada. Yang ada kamus Arab-Inggris-Indonesia. Tapi itu tampaknya karena Bapak ingin kamus Arab-Indonesia, bahasa Inggris hanya bonus. Tidak ada karya sastra (kecuali yang dipinjam dari perpustakaan). Tidak ada buku humaniora sekuler seperti yang dikutip GM di Catatan Pinggirnya. [Kenapa aku jadi kurang “menghormati” Bapak yang membaca Syaikh Rasyid Ridha, Jamaluddin Al-Afghani, Enam Sunan Hadits, Empat Imam Madzhab?]

Ketika kuliah di Bandung, dengan cara berpikir yang lebih matang aku lebih menikmati Catatan Pinggir GM. Aku malah sempat selama dua tahun menjadi “loper” TEMPO di kampus, yang waktu itu memberikan potongan harga mahasiswa untuk setiap edisinya. Tapi kemudian kontakku dengan Catatan Pinggir (dan TEMPO) terputus (dan tidak tersambung lagi) ketika TEMPO dibreidel. Kemudian aku mengikuti terpecahnya TEMPO sebagai sebuah perusahaan bisnis, ketika sebagian, dengan alasan idealisme, menolak investor yang konon berasal dari konglomerat (yang dicurigai akan menghilangkan independensi redaksional TEMPO), sementara sebagian lain menerima dengan alasan-alasan pragmatisme. Mungkin ada tempat lain yang bisa menceritakan kekisruhan internal ini lebih lengkap. Tapi apapun situasinya, aku masih mengenang pernah masuk ke lantai sekian di Gedung TEMPO Jl. Rasuna Said Jakarta, menemui seseorang di keredaksian TEMPO untuk membayar tunggakan tagihan pelanggan–karena kelalaianku sendiri–hampir satu juta rupiah (waktu itu harga pereksemplar masih sekitar 2500an rupiah). Karena sedemikian baiknya penyelesaian waktu itu, aku diberi 2 buah bloknote ulang tahun 20 TEMPO dan dan sebuah buku agenda tahunan dengan tulisan besar TEMPO di sampulnya. Sesudah TEMPO diberangus, setahuku GM kemudian menulis Catatan Pinggirnya di newsletter yang diterbitkan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Setelah reformasi, ketika TEMPO terbit kembali, GM kembali menulis Catatan Pinggir di sana. TEMPO bahkan sempat menerbitkan edisi Inggrisnya. Tapi dunia media massa cetak Indonesia sudah berubah. Kemudian TEMPO menjadi koran, dan seterusnya dan seterusnya.

Aku bukanlah fans GM, karena itu, aku tidak terus-menerus mencari di mana dia berada atau apa saja yang dituliskannya saat ini [dulu dalam salah satu Catatannya, GM mengutip Napoleon Bonaparte yang mengatakan, “Tidak ada akal sehat di kepala seorang fanatik”]. Yang jauh lebih baik yang kurasa bisa kulakukan adalah meneruskan perkenalan yang telah dia mulai dulu. Di Bandung, aku kemudian mencari Samuel Becket, Umberto Eco, Fyodor Dostoyevski, dan lain-lain… Beberapa di antaranya kutemukan, beberapa yang lain hingga kini belum. Beberapa di antara yang kutemukan kucari kembali, beberapa di antaranya kulupakan.

Tentang Dostoyevski, aku pernah menemukan The Brothers Karamazov-nya dalam cetakan yang amat tua, di Perpustakaan Pusat ITB, tapi kemudian kehilangan lagi, dan sampai sekarang masih terus kucari. Hingga saat ini, aku hanya memiliki bab “The Grand Inquisitor” dari novel itu. Konon katanya, demikian penting bab itu sebagai kritik Dostoyevski terhadap praktik gerejawi, sehingga dia bisa dibaca terpisah dari bagian The Brothers Karamazov yang lain. Tahun 2006, aku menemukan buku kecil berjudul sama, tetapi kecewa karena disitu dituliskan “abridged edition”. Tentang Milan Kundera, tampaknya wacananya yang lebih dalam masih terlalu tinggi buatku.

Dalam meneruskan perkenalan oleh GM itu aku kemudian menemukan sebuah irama yang pribadi. Aku merasa ketika aku mencari sendiri, dunia yang terbuka ini mengantarkanku kepada keajaiban-keajaiban baru pikiran dan tindakan manusia. Yang mungkin berbeda atau tidak seperti yang didapatkan GM dalam perkenalannya sendiri. Irama yang pribadi ini sering mengantarkanku meloncat dari satu keajaiban ke keajaiban yang lain. Tidak ada yang linier, tidak ada sekuensial yang kaku. Dulu, dari Becket, yang kutemukan Waiting for Godot-nya di British Council Bandung, aku menemukan George Bernard Shaw (semata-mata karena lemari bukunya dekat saja sebetulnya). Aku juga kemudian mendapatkan The Name of the Rose Eco, dari seorang teman di FSRD ITB, Alfathri Adlin, yang beberapa tahun yang lalu akhirnya menerjemahkan buku itu, termasuk naskah-naskah Latin di dalamnya [yang pasti memusingkan pembaca teks Inggrisnya, termasuk juga aku]. Yang masih dilengkapi Alfath lagi dengan sejenis companion-nya. Aku juga jadi sangat akrab dengan British Council, Pasar Buku Cikapundung, dan salah satu kios buku di Palasari yang mengambil spesialisasi novel dan buku-buku “unik”. Begitulah kira-kira bagaimana aku mencoba meneruskan perkenalan yang sudah dimulai GM.

Aku meneruskan perkenalan dan menemukan irama yang lebih pribadi itu bukan karena aku ingin membuktikan apakah GM benar atau salah. Kekagumanku tidak dicampuri oleh afirmasi atau falsifikasi terhadap tulisan dan pikiran-pikiran GM. Kekagumanku dalam hal ini adalah tentang bagaimana sabar dan tenangnya GM ketika menjadi murid ketika berhadapan dengan orang-orang yang dia tuliskan itu. Itulah yang bagiku layak untuk dijadikan inspirasi. Jadi, setiap kali aku ke toko buku, entah toko baku baru atau toko buku loak, di sebelahku berjalan Goenawan Mohammad.

Epilog: Tulisan ini kubuat hanya berdasarkan ingatan. Karena itu belum ada link yang mungkin membantu untuk memahami dan memeriksa beberapa hal yang kusebutkan. Aku berharap, kalau ada waktu cukup, link-link itu akan kusambungkan.

Setiap kali ‘Idul Fithri, dan diingatkan bahwa inilah hari ketika kita kembali kepada kesucian kita, saya selalu teringat ritual yang dijalankan sebuah keluarga selama bertahun-tahun, hingga saat ini. Dulu di Keluarga Remaja Islam Salman ITB ada seorang pembina, yang demi menjaga nama baiknya, biarlah di sini saya hanya menyebutnya “Enya”. Dulu, di awal-awal 90-an kami sama-sama menyukai Enya [sampai sekarang pun saya masih mendengarkannya]. Terutama lagu-lagu “Book of Days” dan “How Do I Keep from Singing”, dari album pertamanya “Shepherd Moon“. Karena tidak banyak yang menyukai musik Enya yang bergenre New Age dan Folk, awalnya kami saling terkejut karena ternyata di Karisma ada orang lain yang tahu lagu itu. Kami sering berbagi dan apa yang saya tuliskan merupakan hasil dari “enyagrafi” yang panjang selama beberapa tahun.

Ritus itu adalah saling meminta maaf dan memaafkan, atau ta’affu, pagi-pagi di ‘Idul Fithri, sebelum keluarga ini berangkat sholat ‘Id bersama-sama. Jadi, pagi-pagi setelah mandi, mereka semua akan duduk melingkar, ayah Enya, ibu Enya, kemudian anak-anak mereka. Ibu akan meminta maaf pada ayah. Anak yang paling tua, akan melanjutkan giliran ta’affu. Sambil membungkuk mencium tangan ayahnya, dia akan memberikan testimoni tentang kesalahan-kesalahannya, meminta maaf, dan meminta dido’akan oleh ayahnya. Kemudian dianjutkan pada ibu. Setelah itu, dia akan kembali ke posisinya, dan prosesi diteruskan oleh anak kedua. Setelah meminta maaf pada kakak pertamanya, anak kedua akan kembali ke posisi awalnya, dan menunggu adiknya meneruskan ta’affu.

Setelah semuanya meminta maaf dan dimaafkan, yang biasanya lebih banyak diisi air mata dari pada kata-kata, ayah mereka akan melakukan sesuatu, yang bagi saya merupakan hal yang paling penting diceritakan dari ritus ini. Sang ayah akan menyampaikan nasihat-nasihatnya.

Enya mengatakan bahwa pesan-pesan favorit ayahnya dalam ‘Idul Fithri bukanlah tentang kesenangan dan kehidupan, tapi tentang kehilangan dan kematian. Dengan perasaan yang penuh, sering dengan air mata yang ditahan, ayah Enya akan memulai nasihatnya dengan kalimat, “Mungkin, ini Ramadhan kita yang terakhir… Mungkin, inilah kesempatan terakhir kita untuk saling memaafkan… Mungkin tahun depan, kita tidak akan bersama-sama lagi seperti ini… Kita tidak tahu siapa di antara kita yang akan pergi terlebih dahulu… Jadi, ayah ingin menyampaikan beberapa hal pada kalian semua….”

Enya bercerita tentang penghayatan pribadinya. Baginya, pada saat-saat seperti itu, kematian jadi terasa sedemikian dekat pada keluarganya.

“Ayah seperti sedang berbicara dari dipan kematiannya, dan menyampaikan wasiat terakhirnya pada ibu dan kami anak-anaknya. Atau akulah yang sedang berbaring di ranjang kematianku sementara ayah membimbingku agar ikhlas terhadap semua masa laluku, dan berserah diri pada Allah terhadap apa yang akan terjadi pada masa depanku”.

“Sebelum mengatakan apapun, hanya dengan mengingatkan betapa keterpisahan begitu dekat, dan kematian jauh lebih dekat lagi, kami semua akan menangis. Aku merasa, di saat-saat itu betapa tidak ada artinya ego, kecerdasan, prestasi sekolah, apalagi fasilitas. Semuanya lenyap di hadapan keinginan untuk selalu memeluk kakak, adik, ayah dan ibu, sampai kapanpun, walau apapun yang terjadi. Sehari-hari kami adalah anak-anak yang diam-diam atau terang-terangan, berkompetisi satu-sama lain. Sementara di sekolah kami jarang tidak menjadi juara di levelnya masing-masing. Semakin kami beranjak dewasa, semakin jelas runtuhnya ego dan persaingan itu, dan semakin jelas suara isak yang kami tunjukkan.”

“Hanya diingatkan dengan ini, aku memulai pelajaran pertamaku tentang apa yang terpenting dalam hidup ini sesungguhnya. Aku belajar untuk mulai menyadari apa yang sejatinya kujaga dan kumiliki. Kalau semuanya sudah akan pergi dan menghilang, cuma makna yang akan tertinggal. Ketika nanti nasihat-nasihat beliau tidak lagi bisa kudengar, maka makna dari nasihat-nasihat itulah yang akan terus memberiku inspirasi. Aku percaya, kehidupan batin tidak hanya bisa diperkaya oleh pengalaman-pengalaman baru, tetapi jauh lebih penting lagi, diperbarui oleh makna pengalaman-pengalaman yang berlangsung dulu.”

“Dulu, sempat juga aku berpikir betapa absurdnya membicarakan kematian di hari raya ‘Idul Fithri. Setelah menangis begitu, kami semua anak-anak akan buru-buru membasuh muka, sarapan sebagai sunnah sebelum shalat ‘Id, dan terbang ke lapangan. Menangis mengingat kematian sama sekali di luar plot ‘Idul Fithri kan? Tapi belakangan, bertahun-tahun setelah beliau meninggal, barulah aku menyadari bahwa mungkin saat itu memang saat yang tepat. Kalau kita semua menginginkan kematian datang ketika kita telah disucikan, ketika kita baru menyelesaikan salah satu ujian terberat tentang integritas hubungan kita dengan Tuhan, yang kata nabi, merupakan peperangan yang lebih besar dari pada perang melawan kaum kafir, maka hari di saat kita kembali ke pada fithrah merupakan saat yang tepat untuk memikirkan kematian. Barulah kusadari bahwa sangat kuat tampak pada ayah bahwa seandainya dia boleh memilih waktu untuk bertemu maut, beliau ingin peristiwa itu terjadi di saat-saat kesucian hidup masih terasa dekat darinya. Aku sadari pula bahwa ayah ingin sekali kami punya asosiasi yang indah tentang kesucian dan kematian. Bahwa semua kematian yang indah selalu berhubungan dengan hidup yang disucikan, bahkan dengan waktu yang disucikan. Bahwa hanya orang-orang yang berusaha keras menyucikan hidupnya yang akan menganggap kematian seperti tamu yang ditunggu-tunggu dan dirindukan. Hanya mereka yang menyucikan hidupnya yang akan mati dengan indah dan sederhana.”

“Yang langsung aku rasakan waktu itu adalah seberapa besar cinta beliau pada keluarga, dan betapa berharga beliau bagi kami semua. Kami semua memang menangis, tapi tidak seorangpun yang merasa dikecewakan atau dikecewai. Kami menangis karena kata-katanya membuat kami semua berada dalam titik yang sama: tidak ada ayah, tidak ada ibu, tidak ada anak-anak. Yang ada adalah manusia-manusia yang amat lemah dalam ketidakpastian peristiwa-peristiwa di masa depan. Hidup kami sepanjang tahun bukanlah hidup yang sempurna. Kadang-kadang ketegangan emosi terjadi, kadang-kadang salah satu pihak tidak bertindak seperti yang diharapkan oleh yang lain. Tapi pada ‘Idul Fithri, ayah mengajarkan bahwa semua ketidaksempurnaan itu tidak berarti di hadapan kesucian dan maut. Semua keluh-kesah sehari-hari hanyalah hampa. Pembicaraan tentang maut memberi kami peta emosi yang amat kuat dan nyata. Mungkin belum memberi peta kognitif yang utuh saat itu. Mungkin ayah ingin kamilah yang melengkapi peta kognitif itu sepanjang hidup kami. Tapi pengalaman emosional ketika menangis bersama-sama itu akan luar biasa kuatnya, mengalahkan pengalaman emosional ketika kami menangis sendiri-sendiri karena kecewa terhadap anggota keluarga yang lain. Kamu tahu, bahkan hingga saat ini, kalau sulit sekali rasanya aku memaafkan orang lain, aku akan langsung mengingat maut. Mengingat betapa menyakitkannya kematianku nanti seandainya aku belum berserah diri pada Allah dan menerima apapun yang terjadi di dunia ini sebagai yang terbaik dari Allah. Dengan pesan-pesan kematian itu, aku merasa betapa dengan keterbatasannya sebagai seorang ayah, bahkan yang diingatnya berkaitan dengan maut masih tetap kami. Setiap tahun, diukurnya jaraknya dengan maut, dan diukurnya pula jarak anak-anak dan istrinya dengan kebenaran. Belakangan setelah semakin banyak membaca, bagiku, itulah pelajaran tentang cinta yang paling dalam dan suci. Semoga inilah salah satu bentuk cinta ‘yang hadir dalam ingatan tentang Allah, dan berpisah juga dalam ingatan tentang Allah’. Aku tidak pernah berhenti berdoa semoga dengan cintanya yang seperti ini pada kami, keluarga bukan menjadi fitnah baginya di akhirat nanti. Semoga beliau dipayungi oleh payung Allah di mahsyar, dan disediakan Allah singgasana di dekatNYA yang dicemburui para nabi.”

Saya (Nash) tau bahwa do’a ini diinspirasi oleh dua hadits, yang pertama tentang tujuh golongan yang akan dipayungi Allah ketika tidak ada lagi yang memayungi di mahsyar dan kedua hadits qudsi tentang hubungan cinta atas nama Allah yang ganjarannya dicemburui oleh nabi-nabi.

“Aku beruntung karena belajar tentang kematian dari ayah, bukan dari buku-buku atau guru-guru agama di televisi. Aku bahkan merasa AMAT BERUNTUNG dalam soal ini. Aku bisa melihat ayah setiap hari, aku bisa memeriksa apakah pelajarannya tentang kematian menjiwai semua perilakunya, sekalipun mungkin beliau tetap bukan seorang “guru kematian” yang sempurna. Dengan ini, beliau sebetulnya bukan mengajari aku, tapi menyentuhku secara pribadi, dan menyentuhkanku dengan kematian. Aku bersyukur karena bertahun-tahun setelah beliau meninggal, aku mulai memahami bahwa hidup (dan agama, tentu saja) bukanlah apa yang kubaca di buku-buku, tapi apa yang bisa kulihat dalam hidupku sehari-hari. Aku tidak bisa memahami kematian hanya dengan membandingkan tulisan seorang sufi dengan tulisan seorang dokter. Aku hanya bisa memahami maut kalau aku menemukan pengalaman-pengalaman yang dekat dengannya dalam hidupku sendiri. Memasuki tahun ketiga setelah pesan-pesan kematian itu mulai aku sadari, ayah meninggal setelah sakit tiba-tiba selama kurang lebih dua minggu. Sangat tiba-tiba rasanya, karena ayah tidak dirawat di rumah sakit, hanya ibu yang sempat merawat. Beliau sempat sembuh dua hari dan masuk kantor (mungkin bisa dianggap firasat karena pada ibu, beliau mengatakan akan pulang dua hari lagi, dan jenazah beliau memang diantarkan dari rumah dinas ke rumah keluarga dua hari setelah beliau sembuh), dan meninggal hanya 15 menit setelah karyawan terakhirnya menerima honor untuk bulan depan (seolah-olah dua hari itu memang diberikan untuk membereskan urusan-urusan kantornya). Ayah meninggal sendirian di meja kantornya. Saksi mata pertama mengatakan beliau seperti orang tertidur, sehingga tidak berani membangunkan. Tidak ada pesan, tidak ada wasiat untuk kami. Tapi seandainya aku seorang ayah yang hampir setiap saat sudah merasakan maut demikian dekat, apa perlu lagi menyampaikan pesan dan wasiat? Apa tidak kujadikan saja hidupku sebagai sebuah pesan dan wasiat yang utuh bagi istri dan anak-anakku? Sebuah pesan dan wasiat yang hidup, bukan hanya sekadar kata-kata terakhir atau rumusan pembagian harta? Aku pasti tidak menyadari ini hingga beliau benar-benar pergi. Kepergian ayah membuktikan kata-katanya bahwa kematian itu demikian dekatnya. Tidak ada waktu untuk menunda mengirimkan pesan dan wasiat hingga kita sekarat nanti.”

Mengambil pelajaran dari ritus ta’affu di keluarga Enya, semakin saya (Nash) percaya bahwa setiap keluarga harus punya tradisi tentang banyak hal dalam hidup ini…tentang berbagi, tentang leadership dan followership, bahkan tentang kematian. Bukan tradisi tanpa makna yang saya maksud, tetapi sebuah tradisi yang menyentuhkan setiap anggota keluarga itu pada hal-hal paling mendasar dalam hidup ini. Sebuah tradisi yang mungkin akan menghadapkan tiap anak pada sisi gelap hidup, tapi Ayah atau Ibu tetap mengatakan “Walau Bagaimanapun, Kamu OK”. Sebuah tradisi yang menjadi laboratorium bagi anak untuk mengukur kesiapannya untuk menghadapi sisi gelap itu nantinya sendirian. Sebuah tradisi yang mewakili metafora Jibran Khalil Jibran, bahwa “Anakmu bukanlah anakmu, mereka adalah putra-putri Kehidupan… Engkau hanya menjadi busur dan mereka anak panahnya, Sang Pemanah-lah yang tahu sasaran yang sejati”. Dalam hal yang berkaitan dengan tradisi spiritual, ketika sebagian orang justru mengalami krisis ketika harus mulai menguji “agama yang selama ini dikenalkan oleh orang tuanya” untuk dijadikan sebuah “agama pribadi” sebagai tanda kematangan spiritualnya, anak-anak yang mengalami tradisi seperti ini, akan menjalani perjuangan “mencari agama pribadi” ini dengan lebih tenang, karena sejak dini, mereka telah berada di jalur yang benar.

Dalam hal ayah Enya, jangan bayangkan beliau seorang ayah yang sempurna. Konon kabarnya beliau baru menjadi sarjana di usia hampir 45 tahun, setelah memiliki 4 orang anak. Konon ibu Enyalah yang membantu memindahkan ratusan halaman tulisan tangannya ke dalam bentuk ketikan halaman skripsi, ketika ayahnya hampir-hampir putus asa. Suka humor tapi pemalu sehingga butuh waktu untuk akrab dengan orang lain. Baru memiliki penghasilan tetap ketika usianya 40 tahun. Penghasilan ibu Enya lebih besar dari ayahnya. Di lingkungan sosialnya, hampir tidak punya peran apa-apa selain menjadi anggota pengajian setiap malam Jum’at, sesekali menjadi khatib Jum’at cadangan, menjadi imam shalat tarawih cadangan. Enya sendiri mengakui bahwa ada tahun-tahun ketika dia masih butuh membangga-banggakan keluarga, tentang ayahnya dia “…proud of him, but hide him…respect him too much, almost pitied him”.

Tetapi di balik semua cerita tentang pendidikan formal, keadaan finansial, prestasi profesional, dan semua peran sosialnya, saya juga tahu bahwa perbincangannya tentang kematian dan keberpisahan yang demikian terbuka tidak datang begitu saja. Perbincangan itu bukan sekadar kata-kata. Kebiasaannya itu bukan tradisi yang bisa dilakukan oleh orang biasa. Membicarakan kematian di depan keluarga, secara teknis, adalah membicarakan siapa yang saya pikirkan akan memandikan, mengafani, menyalati, dan memasangkan lahat untuk jenazah saya nanti. (Tidak mengejutkan bahwa Ayah Enya telah mempersiapkan semua anak laki-lakinya mampu melakukan itu, jauh sebelum dia meninggal. Enya, misalnya telah siap 4 tahun sebelumnya. Kakaknya, malah 7 atau 8 tahun sebelumnya. Dulu di Keluarga Remaja Islam Salman ITB, Enya pernah mengusulkan untuk menjadikan Fiqh Janazah sebagai bagian dari keterampilan yang diajarkan bagi adik-adik grup tertentu, tapi tampaknya usul itu terlalu “visioner” sehingga tidak tertangkap esensinya, dan tentu saja lenyap akhirnya).

Membicarakan kematian di depan anak-anak saya adalah meyakinkan pada mereka bahwa sehebat apapun saya, ketika kami sudah berpisah dunia, saya membutuhkan bantuan mereka lewat kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan pada orang lain. Karena hanya itu yang akan melapangkan saya di alam barzakh, mengurangi siksa kubur yang harus saya alami, ketika saya tidak bisa berbuat kebaikan apapun lagi. Membicarakan kematian di depan istri saya adalah meyakinkan padanya bahwa ada amanah Tuhan yang pasti akan dipertanggungjawabkan oleh kami berdua di mahsyar, yang akan diteruskan olehnya tanpa saya, dan sebesar apapun cinta saya padanya, saya tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya.

Secara sederhana, bagi saya, tidak mungkin seseorang bicara tentang kematian sedemikian percaya diri kalau terlalu cemas dengan hiruk-pikuk dunia.

Dalam wacana kesufian dituturkan bahwa kalau ilmu tentang ruh SEDIKIT SEKALI DIKUASAI OLEH MAKHLUK, maka ilmu tentang kematian HANYA BISA DIKUASAI OLEH SEDIKIT MAKHLUK. Hanya makhluk yang berusaha terus mensucikan dirinya yang dapat memahami dan menghayati makna kematian. Keyakinan dan makna tentang kematian akan semakin tertutup bila batin semakin kusam, demikianlah hingga ilmu tentang kematian (dan selanjutnya tentang kehidupan akhirat) tertutup bagi syetan dan mereka yang ingkar. Mungkin saja bagi mereka pengetahuan kognitifnya ada, tetapi itu tidak membuat mereka punya pandangan lebih positif tentang manusia, dunia ini, apalagi Tuhan. Mereka-mereka yang berani menghadapi dan menghayati makna kematian, umumnya memiliki sisi spiritual yang amat kuat. Bukan hanya di kalangan pemikir-pemikir Islam, tapi juga bisa kita rasakan ketika membaca Elisabeth Kubler-Ross (“On Death and Dying”), Bernard Siegel (“Love, Miracles, and Medicine”), M. Scott Peck (The Road Less Travelled), atau Viktor Frankl (Man’s Search for Meaning). Hanya yang bisa merasakan keberpisahan dan kematian itu nyata, yang akan bisa menikmati apa yang dia lakukan saat ini. Bukan menikmati dalam arti kesenangan, tetapi menikmati dalam arti menemukan makna. Tidak ada yang rutin dan membosankankan dalam hidup mereka, karena jiwa mereka setiap saat “mati dan tumbuh menjadi lebih baik, mati dan tumbuh menjadi lebih manusiawi”. Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa tumbuh tanpa matinya sesuatu yang lain. Kita bahkan sudah melihat ini dalam siklus hidup makhluk bersel satu. Saya harus berani menghadapi “kematian-kematian kecil”, kalau saya ingin merasakan “kehidupan-kehidupan yang lebih besar”. Sementara sebuah “kematian yang besar”, akan merupakan gerbang bagi “kehidupan yang abadi”. Ini yang membuat mereka tidak takut pada kehilangan dan kematian, apalagi perubahan. Dengan filosofi kematian seperti inilah maka dalam Change Management atau Organizational Development, sebuah strategi perubahan yang utuh harus mencakup bukan hanya PENGHIDUPAN corporate culture yang baru (LEARNING NEW SKILLS), tetapi juga PEMBUNUHAN corporate culture yang lama (UNLEARNING OLD SKILLS).

Enya beruntung diperkenalkan ayahnya pada tradisi yang menyentuh seperti ini. Hingga saat ini, tradisi itu sudah dilanjutkan oleh generasi kedua di keluarga mereka. Sebelum berangkat shalat ‘Id, di rumah masing-masing, setiap keluarga bermaaf-maafan terlebih dahulu. Mungkin belum berbicara tentang keberpisahan dan maut. [Mungkin memang belum waktunya karena cucu-cucu ibu Enya baru dua orang yang bersekolah. Enya akhirnya, sekenal saya di Bandung, bahkan hingga saat ini, juga tidak pernah meninggalkan kesempatan menshalatkan jenazah, bahkan sekalipun jenazah tersebut tidak dikenalnya, dan mengunjungi keluarga yang berduka karena kematian di sekitar tempat tinggalnya].

Mendengarkan Enya, saya kemudian menyadari bahwa seorang ayah yang sukses bukanlah seorang ayah yang berhasil memberikan makanan paling enak, pakaian terindah, rumah termewah, fasilitas terlengkap, atau sekolah paling bermutu, bahkan hingga pekerjaan bergengsi pada anak-anaknya. Karena berkali-kali saya bertemu dengan ayah yang sukses dalam pekerjaannya dan mengatakan bahwa semuanya dia dapatkan dengan menahankan penderitaan bekerja kasar di masa muda, kemudian memberikan segala-galanya pada anak-anaknya, tetapi gagal membantu anaknya memiliki ketabahan yang sama untuk, bahkan sekadar mencuci piring kotornya sendiri di dapur. Ayah-ayah sukses tersebut, menurut saya, menyerahkan tanggung jawab “menanamkan tradisi” untuk anak-anaknya pada sekolah yang disebut unggul atau lembaga kursus yang disebut bonafide, yang sesungguhnya menjalin relasi dengan anak-anak mereka hanya berdasarkan transaksi “money talk”, bukan “love talk”, apalagi “divine talk”. Bukan murni karena kesadaran tanggung jawab keilahian. Saya percaya, cara seseorang memperlakukan anak dan istrinya, lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana dia melihat ayahnya memperlakukannya dan ibunya, dari pada bagaimana sekolah dan guru-guru memperlakukan dia. Itulah mengapa terlalu besar taruhannya bila pembentukan tradisi batin anak diserahkan pada yang selain ayah dan ibunya.

Akhirnya, ayah Enya memberi contoh dan bukti penting bagi saya, bahwa seorang ayah yang sukses adalah seorang laki-laki yang mampu menumbuhkan sebuah tradisi yang bermakna dalam bagi anak-anaknya. Sebuah tradisi yang mewakili nilai-nilai terdalam yang sepantasnya dipegang setiap orang sepanjang hidupnya, tidak peduli apakah dia kenyang atau lapar, apakah compang-camping atau adi busananya, apakah dia lulus dari sekolah bermutu atau hanya bisa belajar dari sekolah kehidupan. Sebuah tradisi yang akan dipegangnya entah dia dianggap dunia sebagai seorang sukses atau seorang gagal. Sebuah tradisi yang tidak hanya bisa kita sensasi dengan indra fisik, tapi pelan-pelan juga menyentuh hati kita. Sebuah tradisi yang sekalipun remeh dan sederhana, tapi membentuk cara pandang kita terhadap dunia. Sebuah tradisi yang berisi seperangkat perilaku, yang ditulis dengan indah oleh Blaine Lee, seorang sejawat Stephen Covey di Covey Leadership Centre, sebagai “…yang kita lakukan bukan karena tuntutan lingkungan, tekanan orang lain, atau kebutuhan pribadi…tetapi karena itu merupakan bagian dari prinsip-prinsip kita”.

Terima kasih Enya…saya banyak sekali belajar dari cerita tentang ‘Idul Fithri di keluargamu. Kisah sederhanamu justru membantu saya belajar dan memahami banyak hal lain dalam hidup ini. Memberi saya perspektif, bukan hanya tentang kebapakan, bahkan juga tentang bagaimana melihat perubahan, kedatangan dan kepergian, kesedihan dan kebahagiaan. Dengan ikhlas dan kerendahan hati, aku aminkan do’amu, semoga ibu dan saudara-saudaramu tidak menjadi fitnah bagi ayahmu di akhirat nanti.[Duh, sebuah kalimat doa yang sangat berani, keras, dan tajam, menurutku. Sejenis doa yang sangat khaufi, yang penuh rasa takut, yang tidak enak dibaca panjang-panjang dengan suara keras di depan orang banyak karena tidak manis dan menyenangkan]. Dan meskipun belasan tahun yang lalu tidak diwarisinya kalian dengan harta yang banyak dan hidup sempurna, tapi semoga cintanya pada kalian yang selalu dikaitkannya dengan Tuhan, akan membantunya mendapatkan perlindungan dan sebuah singgasana di sekitar para nabi, di sisiNYA.

Š

Epilog: Tulisan ini pernah kukirimkan sebagai pesan di milis alumni Masjid Salman ITB dan Keluarga Remaja Islam Salman ITB. Meskipun pada awalnya tidak ditulis untuk milis tersebut.

==tulisan ini awalnya berjudul “Makna Pipit di Hatiku”…==

Waktu aku menanyakan tentang kriteriamu, sambil menunggu-nunggu jawabanmu, aku juga memikirkan kriteriaku, Pit… aku menebak-nebak sendiri, apakah kriteriaku sekarang akan sederhana atau rumit, akan berubah atau masih seperti yang dulu, apakah merujuk pada kenangan tertentu di masa lalu atau hadir sebagai sesuatu yang baru, apakah kembali kepada seseorang yang pernah dekat dan berarti atau lahir seperti bayi yang belum diberi nama.

Sambil menstaples amplop-amplop kemarin itu Pit, aku mencoba memikirkan juga jawabanku untuk pertanyaan yang kuajukan padamu… di kamarku, aku masih juga memikir-mikirkan pertanyaanku sendiri… dan sekarang aku mencoba menuliskannya untukmu…

Seperti aku sebutkan tentang dialogku dengan ibuku…

Sebelumnya izinkan aku menceritakan sedikit tentang dia padamu: bagiku dia adalah perempuan nomor satu terbaik di dunia yang mengajariku memasak sekaligus memarahiku habis-habisan waktu aku kecil kalau malas membantu ke dapur. Dulu sambil memasak, dia akan menguji kemampuan perkalianku…sambil mengaduk sayur aku akan berpidato: 2×3=6, 2×4=8, dstnya. Kalau mau ujian, dialah yang memegang buku pelajaran dan mengujiku dengan lisan. Dialah orang pertama yang mengajariku—hingga aku mengerti—bagaimana menggunakan to be dalam Bahasa Inggris (justru bukan guru bahasa Inggrisku di sekolah). Dialah yang akan sembunyi-sembunyi mendatangi guru-guruku kalau diketahuinya ada nilaiku yang turun dari biasanya.

Yang lebih penting untuk cerita ini adalah bahwa, ibuku ini Pit, adalah perempuan satu-satunya tempatku mengadu ketika aku merasa perempuan lain di luar sana mengecewakan aku. Dan kalau waktu itu aku menangis di pangkuannya, dia akan membelai dan mencium kepalaku, kemudian akan menangis bersamaku. Dia akan menghiburku dan mengingatkanku bahwa luka-luka hati akan membuat kita lebih kuat kalau kita dapat menyembuhkannya. Dia juga mengajariku untuk berterima kasih kalau seorang perempuan mengecewakanku amat dalam, karena sesungguhnya dia sudah memberiku pintu untuk mengetahui seberapa kuat aku sesungguhnya menghadapi hidup ini sebagai seorang laki-laki…sampai sekarang, pelajaran ini Pit, yang paling sulit aku jalankan.

Yang lebih penting lagi, Pit…dia juga yang memberiku pijakan dasar bagaimana seorang laki-laki seharusnya menyayangi seorang perempuan dengan tulus sekaligus penuh humor, keras kepala sekaligus lembut, melindungi sekaligus mengerti, merengkuh sekaligus membebaskan, mencemaskan sekaligus mempercayai. Dia mengajariku untuk tidak mencintai perempuan karena perlakuannya mirip seperti ibuku memperlakukan aku—aku harus mencintai seorang perempuan karena dirinya sendiri, bukan karena bayang-bayang ibuku. Karena semua perempuan pun memiliki masa kecilnya sendiri, memiliki ibunya sendiri, yang mungkin jauh berbeda dari yang aku miliki…

Aku lanjutkan lagi, Pit…

Seperti aku sebutkan tentang dialogku dengan ibuku… tidak ada perubahan yang besar dalam kriteriaku…

Dulu aku pernah mengatakan bahwa perempuan itu harus menyenangkan untuk dilihat. Perempuan yang menyenangkan untuk dilihat itu bagiku adalah yang menghargai dirinya sendiri. Menghargai raga dan semua yang diberikan Tuhan kepadanya, tetapi tidak semata-mata menggunakan itu untuk menarik perhatianku atau orang lain di sekitarnya. Menghargai diri itu bagiku jauh berbeda dari memamerkan diri.

Dia harus merasa dirinya cantik—sehingga kalau aku mengatakan dia cantik, dia akan tersenyum dan berterima kasih. Kalau tidak, dia akan merasa aku mengejeknya, atau memproyeksikan bayanganku tentang kecantikan kepadanya. Dia harus percaya dirinya cantik, sehingga kalau aku mengatakan dia cantik, dia tidak akan curiga bahwa aku mungkin menyimpan keinginan egoistik tertentu di balik pujian itu.

Tapi aku tidak mencari seseorang yang cantik, Pit. Aku mencari…yang tercantik. Karena katanya hal-hal tercantik dan terindah di dunia ini tidak bisa dilihat dengan mata, dan hanya bisa dilihat dengan hati, maka aku akan mencarinya dengan hati. Aku akan memandangi dan mencoba mengenalinya dengan hatiku. Hingga kalau suatu saat kamu melihatku berbicara dengannya, sesungguhnya hatikulah yang berbicara. Bahkan kalau kamu mendengarku bertanya tentang dia, sesungguhnya aku bertanya dengan hati… semakin dalam aku menggunakan hatiku, pasti semakin dalam kecantikan yang bisa kutemukan. Sebuah kecantikan yang tetap akan kulihat meskipun wajahnya nanti keriput dan fisiknya berubah. Sebuah kecantikan yang tetap hadir meskipun dia menghilang dari pandangan mata, entah sementara atau untuk selamanya.

Karena sulitnya kriteria ini, Pit… aku menjadikan “menyenangkan untuk dilihat” sebagai kriteria penutup. Kecantikan yang tercantik itu bagiku adalah kesimpulan akhir sesudah masa-masa indah dan sulit dilewati. Setelah bertengkar hebat, hampir putus, dan memulai lagi semuanya dari awal. Setelah saling menangis, untuk dan karena satu sama lain. Setelah sakit perut karena tertawa waktu saling mengolok satu sama lain. Setelah dia keriput, peot, ompong, bungkuk—dan aku rabun, rapuh, dan sakit-sakitan. Finally, she is the beautiest ever after—akhirnya, dialah yang tercantik selamanya. Itu adalah perjalanan terjauh yang mungkin harus ditempuh untuk menemukan kecantikan sejati. Tapi aku menyadari sering kali perjalanan itu harus berhenti sebelum sampai di tujuan yang sebenarnya.

Jadi, Pit, kriteriaku yang pertama adalah kesediaannya belajar. Aku akan sangat mudah jatuh di hadapan seorang perempuan yang bersedia belajar hal-hal baru. Yang membuka dirinya terhadap dunia ini. Yang tidak semata-mata melihat sesuatu dengan masa lalunya. Yang meskipun tidak suka kalah, tetapi siap mengambil resiko untuk gagal, dan berani menghadapi ujian. Yang menangis waktu kalah, tapi bisa menghapus air matanya sendiri dan bangkit kembali. Yang memandang dunia ini dengan mata seorang profesor kecil yang penasaran.

Yang terpenting adalah bahwa tentu dia siap belajar menyayangi seseorang. Dia menyadari bahwa menyayangi seseorang itu tidak semudah yang diceritakan dalam buku dan film. Menyayangi itu tidak selamanya romantis, tidak selamanya bahagia, dan tidak selamanya berbalas setimpal. Menyayangi itu kadang-kadang dikecewakan, ditinggalkan, diabaikan, diremehkan, tidak diterimakasihi. Tapi dia berani mengambil resiko itu karena dia mengaku dirinya masih belajar menyayangi. Kalau akulah orang yang disayanginya, Pit…aku tidak bisa menyakiti perempuan ini dengan sengaja. Aku akan menyayanginya, tapi tidak akan menganggapnya milikku, karena aku terlalu kecil untuk memenuhi kelapangan jiwanya. Sehari-hari, dalam kebersamaan kami, pastilah aku tidak bisa beristirahat sementara dia masih bekerja keras, tertawa sementara dia menangis, beramai-ramai sementara dia kesepian, menikmati sesuatu sementara dia berkorban, apalagi berkhianat sementara dia setia. Aku tidak akan pernah mengekangnya melakukan sesuatu untuk alasan apapun kecuali Kebenaran, apalagi dengan alasan statusku di hatinya. Aku tidak akan menggunakan rasa sayangnya padaku untuk menyudutkannya atau mempersulitnya mengambil keputusan bagi dirinya sendiri, atau membuatnya merasa bersalah padaku. Aku tidak akan memintanya menjadi pengasuhku seperti ibuku mengasuhku ketika aku bayi. Aku cukup berterimakasih dia sudah menganggapku begitu penting, sementara sisanya, biarlah dia menjadi diri yang dia inginkan. Apalagi anugrah yang lebih indah, yang mungkin diterima seorang laki-laki dari seorang perempuan, selain rasa sayang yang tulus dan dalam?

Kriteria keduaku, Pit adalah kebaikan hatinya. Aku mudah terpesona, Pit, pada seseorang yang baik. Bagiku kebaikan cuma satu defenisinya: kesediaan mengorbankan diri dengan tulus. Aku mudah tersentuh melihat seseorang yang siap kehilangan sesuatu semata-mata agar orang lain keadaannya lebih baik. Entah sesederhana dan semurah apapun “sesuatu” itu. Yang mahal dan sulit ditemukan adalah ketulusannya. Tapi lebih tidak mungkin lagi ketulusan ditemukan pada seseorang yang hanya memikirkan dirinya sendiri, yang selalu menghitung-hitung pengorbanannya, yang tidak peduli apakah kehadirannya memudahkan atau menyusahkan orang lain.

Kriteria kedua ini terpenuhi justru kalau aku melihat dia baik kepada orang-orang di sekitarnya dengan spontan dan penuh harga diri. Dia berkorban bukan karena alasan hubungan keluarga, alasan membalas kebaikan, alasan teman baik. Satu-satunya alasannya adalah: kalau bukan aku, siapa lagi? Dia pun berkorban bukan karena tidak punya pilihan lain, bukan karena dia punya segala-galanya, bukan karena berkorban itu mudah, Pit. Dia justru punya kesempatan untuk menutup mata, tapi dia bilang: peduli itu emang repot, so what?

Kalau dia sudah menyukai aku, kebaikan dan perhatiannya padaku tidak lagi aku perhitungkan. Apakah dia memang tulus padaku? Aku hanya ingin melihat kebaikannya yang spontan, meskipun sederhana, terhadap orang lain, bahkan bila perlu terhadap binatang-binatang remeh dan kecil di sekitarnya. Tapi bagaimanapun besar kebaikan yang dilakukannya, bagiku ketulusan adalah segala-galanya.

Yang ketiga, Pit… ibadahnya. Aku mudah pasrah menyerah di depan seorang perempuan yang ibadahnya mengejutkanku. Ibadahku sendiri masih kurang, tapi aku menganggap perilaku beribadah yang konsisten merupakan kesetiaan tertinggi yang bisa ditunjukkan manusia. Bagiku, ibadah merupakan janji pertama yang harus dipenuhi. Seperti kebaikan yang spontan dan tulus, ibadah mestinya juga mengejutkan dan disembunyikan. Karena itulah, Pit, aku tidak bilang dia taat ini-itu… cukup hanya “ibadahnya mengejutkanku”. Dia tidak perlu bercerita, dan aku pun tidak perlu sengaja bertanya—tapi tiba-tiba saja…PHAW! Tuhan, dengan caranya sendiri, menunjukkan padaku bahwa perempuan ini sedang beribadah padaNYA.

Kalau dia sudah menyukaiku, atau bahkan kalaupun perasaanya padaku belum istimewa, aku berharap dia selalu mengingatkanku pada janji pertama dan kesetiaan tertinggiku. Bahkan di saat-saat kami berdua. Atau meskipun karenanya kami harus berpisah. Dia akan marah padaku kalau aku melupakan janji dan mengkhianati kesetiaan tertinggiku. Dia bisa mengatakan bahwa hanya Tuhanlah yang memiliki diri kita masing-masing. Sedangkan cinta seberapapun besarnya hanyalah janji bahwa masing-masing kita peduli satu-sama lain, bukan penyerahan diri secara total.

Hanya itu Pit, kriteriaku… 1 kesimpulan plus 3 uraian, atau 3 uraian plus 1 kesimpulan.
Dengan kriteria sederhana seperti itu, kamu tentu mengerti dan bisa membayangkan apa yang aku rencanakan bersama perempuan seperti ini.

Kami akan banyak berjalan, Pit… kami akan menempuh perjalanan sejauh-jauh yang kami bisa, agar kami dapat mempelajari diri kami masing-masing, dan satu sama lain. Entah itu perjalanan lahir, maupun perjalanan batin. Dengan itulah kami semakin memahami. Aku akan mendorongnya untuk sesekali mengambil jarak dari aku, agar aku bisa melihat dirinya dari sudut yang lain, demikian pula nantinya dia melihat aku. Aku mendorongnya untuk mempelajari hal-hal baru, sebagaimana juga dia mendorongku. Kami akan bergantian menjadi murid dan guru satu sama lain. Dia akan memberiku nilai, sebagaimana aku memberinya nilai untuk hal yang dia pelajari dari aku.

Kemudian aku katakan padanya bahwa kita hadir bukan hanya untuk kita berdua, tapi untuk orang lain yang tidak sebahagia dan seberuntung kita. Kami akan cukup sibuk memikirkan orang lain, Pit. Kami berlomba untuk memberi…kami berebut melayani satu sama lain… Ketika hanya ingin berdua pun, kami tidak akan mengabaikan kesempatan menjaga kebaikan hati. Aku akan mengajaknya melakukan kebaikan-kebaikan rahasia yang menjadi proyek berdua. Kemudian ditutup dengan saling memuji dan berterima kasih untuk hal-hal sederhana yang sudah dilakukan dengan tulus. Meskipun kami terkait satu sama lain, kami tidak akan terpisah dari sahabat-sahabat, maupun orang-orang lain yang kami anggap penting. Kami tidak akan menjadi asing bagi mereka hanya karena kami memiliki komitmen yang dalam untuk peduli satu sama lain. Justru karena kami dekat, aku berharap kepedulian dan kebaikan hati itu semakin kuat. Akan terlihat, Pit, kami lebih peduli pada orang-orang terdekat kami, dan membuka diri terhadap orang-orang asing. Tidak apa-apa kalau orang lain tidak memahami hubungan kami yang sebenarnya, tidak setuju, tidak mendukung, tapi biarlah mereka melihat bagaimana kebaikan dan kepedulian itu terbit semakin bercahaya dari kedua hati. Seandainya kebersamaan kami bisa memberikan kebaikan, meskipun kecil saja, bagi dunia ini, bagiku itu sudah cukup. Karena ketika sendirian saja kita harus seperti itu, apalagi ketika berdua …

Dalam perjalanan panjang dan kesibukan menumbuhkan orang lain di sekitar kami itu, aku berharap janji pertama dan kesetiaan tertinggi kami masing-masing semakin baik. Kami akan menyerahkan banyak sekali hal pada Tuhan, Pit. Karena janji dan kesetiaan tertinggi inilah maka semakin lama kami bersama, jiwa kami semakin sederhana. Kami semakin menyadari bahwa semua yang ada hanyalah titipan sementara, sehingga setiap saat kami berusaha menjadi seseorang yang lebih berarti satu sama lain. Aku akan mengingatkannya bahwa ketika suatu saat kami tidak lagi punya kekuatan untuk bertahan bersama, biarlah Tuhan yang menjaga ikatan hati kami—supaya kami bisa berjalan terus hingga saat ketika Dia mengatakan waktu kami telah habis. Dan kalau saat itu tiba, apapun situasi dan penyebabnya, aku berharap kata-kata terakhirku tentang dia adalah “perempuan tercantik” dan kata-kata terakhirnya tentang aku adalah “laki-laki tertampan”.

Cuma 3 paragraf itu Pit, rencana yang kupikirkan. Entah untuk waktu 3 bulan, 3 tahun, atau 30 tahun. Waktu menjadi tidak penting kalau kita sudah menemukan seseorang yang kita percaya dan mempercayai kita untuk memandang dan berjalan ke suatu arah secara bersama-sama. Bagiku untuk hal sepenting ini, memikirkan dengan siapa kita berjalan sering kali jauh lebih penting dari pada memikirkan apa yang akan kita bawa selama perjalanan ini. Dengan orang yang tepat, kita akan siap menghadapi apapun. Kita bisa menikmati hari demi hari tanpa terlalu khawatir apakah hasil akhir kita akan benar-benar berjalan sesuai rencana. Kita tidak peduli berapa lama ini semua akan berlangsung. Bahkan kita tidak peduli pada keabadian karena apa yang kita miliki bersamanya hari ini bisa kita nikmati dan syukuri.

Yang paling sulit justru memeriksa apakah aku sudah cukup peka terhadap kriteriaku sendiri? Sedemikian peka hingga hanya dalam perkenalan sesaat aku sudah dapat mengenali perempuan seperti ini. Sedemikian peka sehingga aku cukup sabar menuntunnya ketika jalan yang kami pilih penuh jebakan, menggendongnya ketika dia kehabisan tenaga, menunggui dan mendampinginya seandainya dia tidak sesempurna yang kupikirkan dan kami berjalan tertatih-tatih. Sedemikian peka sehingga aku cukup rendah hati untuk mengatakan “Aku bodoh dan lemah. Maafkan aku karena itu. Aku masih dan akan terus belajar memahami dan menyayangi kamu—bantulah dan ajarilah aku supaya kebodohan dan kelemahanku tidak menyakitimu”.

Pit, aku menyadari bahwa tidak mungkin aku menemukan perempuan seperti ini kalau aku sendiri masih jauh dari kriteria yang kutetapkan untuknya. Karena pasangan yang kita pilih adalah cermin dari jiwa yang tersembunyi di balik semua yang kita tampilkan di hadapan orang lain. Pasangan yang kita pilih adalah satu lukisan yang mencerminkan harapan kita tentang diri sendiri. Dia adalah gambaran dari apa hal tertinggi yang ingin kita berikan dan yang ingin kita dapatkan dari seseorang. Bagiku hal-hal tertinggi itulah yang mengaitkan kita dengan pasangan kita, dan membedakan dirinya dari orang-orang lain yang kita kenal.

Dan aku ternyata masih belajar, Pit… perlu belajar amat banyak agar arahku hidupku sendiri sesuai dengan arah hidup perempuan yang aku sebutkan di atas. Aku perlu belajar semua yang aku tuliskan tentang kriteria-kriteria itu… Perlu belajar agar dia pun nanti melihatku seperti aku melihat dia.

Kalau kamu tanya: Apa yang akan dilakukan kalau bertemu dengan Perempuan 3+1 ini?

Jawabanku: Aku akan tanya perempuan di seluruh dunia bagaimana sebaiknya aku memperlakukan perempuan sepenting ini. Aku akan belajar dan menjadikan semua perempuan sebagai guru agar aku tidak menyakitinya. Yang pertama kutanya tentu Ibuku dan satu perempuan terbaik lain. Kemudian di hatiku dia akan kujadikan sahabat sekaligus kekasih, dan berbagi dengannya semua hal baik dalam tubuh dan jiwa yang bisa dibagikan seorang laki-laki kepada seorang perempuan.

Oya, dulu Pit… dalam pertemuanku terakhir, pernah ibuku menawarkan mencari 3+1, aku bilang, “Kalau Ummi yang cari, kriterianya ditambah: harus anak tunggal, ayahnya sakit-sakitan tapi punya warisan banyak, ibunya udah meninggal, dan dia harus siap dimadu”…Mendengar tambahan ini, ibuku langsung sadar bahwa urusan ini bisa jadi panjang tak berkesudahan hingga menyusahkan dirinya sendiri, kemudian langsung berhenti menawarkan bantuan apapun. Nnnnnash, gitu lo…emmaknya saza dikerzaaa-i sama dia…

Epilog: Tulisan ini datang dari masa lalu…sangat lalu…dalam versinya yang paling lengkap…yang selalu aku baca dan renungkan kembali.